Gue tidak mengetahui mulai
darimana awalnya tetapi saat gue berusaha mengingat semua kejadian itu, gue
teringat waktu perjumpaan pertama yang singkat tanpa sepatah kata yang keluar
dari mulut kami.
Bahkan hingga pertemuan
kedua dan ketiga masih demikian gue hanya diam dan memandangi dirinya dalam
kesepian, seorang gadis yang berambut panjang dan mengenakan kacamata merah
yang mengalihkan pandangan gue saat itu. Mungkin sifat seorang pria yang mudah
untuk merasakan namanya tertarik dengan seorang wanita dari parasnya demikian
juga gue dengan perempuan tersebut.
Gue tidak mengetahui
siapa namanya. Gue hanya selalu berpapasan dengan dirinya setiap minggu dan
setelah itu melihat dirinya kagum dari kejauhan. Apakah ini yang disebut cinta?
Entahlah, gue tidak mengetahuinya karena gue pun adalah orang yang tidak
percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Terlalu dini untuk mengatakan
kalau ini adalah perasaan yang namanya cinta.
Pertemuan keempat
dengan dirinya, gue memberanikan diri untuk berkenalan dengan dirinya hanya
dengan modal nekat dan cuek dengan kondisi sekitar. Gue tahu kalau gue hanya
menunggu waktu yang tepat dan baik itu takkan pernah terjadi karena waktu yang
tepat itu akan terjadi bila kita bertindak.
“Hai...” sapa gue
ringan berharap agar dia dapat membalas sapaan gue ini.
“Hai juga, siapa ya?”
dia membalasnya dengan suara yang lembut dan senyum yang sangat menarik untuk
gue. Terlihat dia sedikit bingung ketika gue menyapa dirinya tapi dia tetap
begitu hangat terhadap orang yang tidak dia kenal.
“Nama gue Ryo. Kalau
nama lo siapa?” gue memperkenalkan diri gue duluan dengan begitu yakin padahal
dalam diri ini sangat begitu takut dan gemetar.
“Nama gue Ilia.”
Jawabnya singkat dengan menyambut jabatan tangan gue.
Gue... gue... gue....
tidak percaya dengan hal ini, gue dapat berkenalan dengan dia secara langsung.
Tangannya begitu lembut dan halus, senyumnya yang begitu menghangatkan jiwa,
rambut panjangnya yang panjang terurai jatuh begitu saja hingga bahunya meski
pada bagian atasnya di jepit mungkin agar tidak terlalu panas, kacamata merah
yang ia kenakan membuat kecantikannya bertambah, dan yang tidak kalah
menariknya ialah bibirnya yang tipis. Semua itu terangkum dan berpadu menjadi
satu kesatuan yang membuat keindahan dari dirinya terpancar.
Sesaat gue terdiam
memandangi wajahnya sebelum Ilia menyadarkan gue, “Hei kok diam? Dan kenapa
lihat gue kaya gitu ya?” dia bertanya dengan heran sambil melihat ke
sekelilingnya untuk mencari apa yang salah dari dirinya.
“Lo cantik banget.”
Ucap gue tanpa sadar.
Kami terdiam, wajah
Ilia pias menjadi merah, dan gue menjadi serba salah yang menghasilkan salah
tingkah. Hati langsung berdebar begitu cepatnya, darah mengalir begitu
cepatnya, dan lidah menjadi kelu.
“Terima kasih ya dibilang
cantik.” Katanya dengan malu-malu dan menutupi senyumannya dengan tangannya.
‘Ah
Tuhan, Engkau menciptakan bidadari yang begitu indah dan bidadari itu berada
tepat di hadapanku. Semuanya terlihat sempurna pada dirinya, apakah mungkin dia
adalah jawaban dari setiap doaku yang aku panjatkan kepada-Mu Tuhan?’
“Sorry, kalau gue bilang kaya gitu padahalkan gue sama lo baru aja
kenalan, dan gue udah bilang kaya gitu aja ke lo.” Gue meminta maaf dengan
menundukan wajah gue. Apa yang harus gue lakukan saat ini? Lidah gue terlalu
lemah untuk dapat bergerak mengucapkan kalimat satu persatu.
Apakah gue harus
memerlukan les untuk dapat merangkai setiap kata? Sebenarnya perasaan apakah
ini kenapa gue menjadi gugup di hadapannya?
“Iya gapapa kok. Oiya
maaf ya gue lagi buru-buru soalnya banyak kerjaan nih.” Dia pergi berlalu dari
hadapan gue tapi dengan sigap gue meraih tangannya.
“Gue boleh minta kontak
lo enggak? Biar bisa berhubungan sama lo gitu kan?” tanya gue dengan suara yang
bergetar saat dia menatap gue heran dan memperhatikan tangannya yang terus gue
genggam.
“Boleh kok... Ini, lo
masukin kontak lo di hape gue aja ya, Yo!” Jawabnya yang tanpa ada amarah
sedikit pun dan memberikan hapenya kepada gue.
Dia begitu ramah, dia
begitu indah, dia begitu hangat, dan dia begitu sempurna untuk diri gue. Gue
mengetik menyimpan nomor gue pada hapenya dan mengirimkan SMS ke nomor gue agar
gue dapat mengetahui nomornya juga.
Setelah itu, semuanya
telah berakhir dengan begitu saja. Dia pergi meninggalkan gue dan gue hanya
menatap dirinya yang sedang berlari mengejar waktu perlahan menjauh dan
menghilang dari hadapan gue.
Gue hanya membayangkan
dirinya dan sepintas gue berharap semoga gue dapat dipertemukan dengan dirinya
dengan waktu yang lebih lama, bukan hanya sekedar ‘Say Hi..’ tapi bisa berbincang lebih lama lagi. Ahhh... itu cuma
harapan gue saja dan itu cuma sekedar mimpi yang terlintas begitu saja dalam
benak gue, gue pun tahu ini hanya kebetulan gue dapat bertemu dengan dirinya di
tempat dan waktu ini. Apakah kebetulan itu dapat hingga empat kali? Bila ini
bukan kebetulan apakah ini yang di sebut dengan takdir? Apakah takdir yang
telah mempertemukan kita? Dan apakah takdir itu akan menciptakan sesuatu yang
indah yang dinamakan dengan cinta?
No comments:
Post a Comment