Seminggu berlalu tapi belum ada kontak dari dia, gue mencoba bersabar dengan menunggu dan terus menunggu dia yang menghubungi gue terlebih dahulu. Lama-lama gue menjadi bosan dalam waktu menunggu ini dan dalam hati gue ingin untuk menghubunginya duluan. Meski ada kata-kata yang bilang jadi cowok harus sok jual mahal tapi menurut gue, kalau sok jual mahal mulu kapan lakunya?
Akhirnya gue memberanikan diri untuk menelepon nomor yang tersimpan di dalam hape gue. Pertama kali gue hubungi nomornya tidak aktif tapi gue tidak menyerah begitu saja, gue mencoba menghubunginya lagi setengah jam kemudian dan akhirnya nyambung tetapi tidak di angkat olehnya. Pikiran gue mulai macam-macam memikirkan hal yang tak pasti, bahkan memikirkan sebuah hal yang buruk yang mungkin itu hanyalah dalam fantasi gue belaka.
Sebelum meneleponnya untuk ketiga kalinya, gue mencoba untuk mengirimkan sebuah pesan singkat terhadapnya yang mengatakan kalau yang dari tadi meneleponnya adalah gue. Pesan singkat yang gue kirim akhirnya dibalas olehnya dengan mengatakan ucapan maaf kalau dari tadi dia tidak mengangkat telepon dari gue karena lagi ada jam kuliah.
Gue akhirnya memutuskan untuk menghubunginya lagi nanti malam biar dapat di angkat olehnya dan malam hari kemungkinan untuk di angkat sangat besar daripada siang sampai malam.
Gue mulai bertanya kembali ke dalam diri gue sendiri, kenapa gue terlalu berharap banget untuk dapat berbicara dengannya melalui telepon? Kenapa juga gue punya perasaan kangen untuk mendengar suaranya? Ah... apa yang terjadi dalam diri gue saat ini? Apakah ini semua tanda-tandanya? Tidaaaak... gue harap tidak karena gue pun belum yakin dengan semuanya dan juga gue baru sekedar berbincang sebentar dengan dia.
Ilia...
Engkau terlalu sempurna untuk dapat ku raih.
Sinarmu begitu menyilaukan pandanganku.
Saat ini aku bermimpi untuk mendapatkanmu tapi...
Tapi aku takut saat aku terbangun dan tersadar nanti...
Aku hanya terluka karena hanya dapat membayangkanmu...
Oh Ilia... apakah kamu jawaban dari doaku?
Gue menuliskan puisi ini di selembar kertas, apakah gue terlalu mellow untuk menanggapi apa yang sedang aku rasakan kini? Pandangannya dan senyumannya bahkan seperti menghantui diri gue setiap saat. Ah gue membenci hal ini, gue seperti seorang pecundang yang hanya terus berani untuk bermimpi tanpa berani melakukan sesuatu hal untuk menjadikan mimpi untuk menjadi nyata.
Tiba-tiba hape gue berbunyi yang membuat gue tersadar dari lamunan gue tentang Ilia. Gue menatap layar hape gue dan menemukan nama Ilia yang ternyata menghubungi gue sekarang. Gue sendiri masih tak percaya dengan apa yang sedang gue lihat saat ini, gue menekan tombol hijau dengan ragu dan menantikan sepatah kata yang terucap dari ujung telepon itu dengan cemas.
“Halo! Ini Ryo kan?” tanya seorang perempuan dari ujung telepon dengan sangat lembut.
“Iiii...Yaaaa... iniii guuueee...” Gue menjadi salah tingkah sendiri, lidah gue menjadi kelu, dan gue menjadi gagap untuk menjawab pertanyaan dari perempuan tersebut.
“Kalau ini Ryo kenapa gagap gitu ya? Soalnya yang gue ingat dia enggak gagap gini deh?” tanyanya dengan curiga dan heran ketika mendengar suara gue.
“Beneran kok ini gue Ryo cuma gue gugup aja ngomong sama lo,”
Keringat mulai bercucuran dari sekujur tubuh gue dan akhirnya gue dapat berbicara normal tetapi gue masih gemetaran saat berbincang dengan dia. Ini masih lewat telepon tetapi gue sudah gugup luar biasa. Bagaimana bila ketemu dengan dia dan mengobrol secara langsung?
Apakah ada obat untuk mengobati rasa gugup ini? Padahal awalnya gue sangat bersemangat untuk menelepon dia tetapi setelah dia menelepon, gue yang malah gugup setengah mati hingga keringat dingin.
‘Ini bukan suatu perasaan yang menakutkan bukan?’ tanya gue dalam batin.
Gue berbincang dengan dirinya lumayan cukup lama saat ini, ini adalah suatu kemajuan dari sebelumnya meski lama karena dia terus menanti gue mengucapkan sepatah kata pada awalnya. Seiring dengan berjalannya waktu gue mulai dapat membiasakan diri dan membuat diri gue nyaman saat berbincang dengan dirinya.
Perbincangan ini ngalor-ngidul mulai dari sekedar perkuliahan, hobi, bahkan hal-hal absurd yang lainnya. Jujur gue sangat nyaman ketika berbincang dengan dia dan tampaknya Ilia sangat menyukai jokes yang gue buat, bahagia sangat mendengar tawanya yang ringan sampai terbahak-bahak ketika mendengar setiap jokes dari gue.
“Aduh Ryo, perut dan mulut gue sampai sakit karena ngakak mulu nih. Tanggung jawab dong!”
“Tanggung jawab gimana juga? Lagi siapa suruh yang ketawanya sampai kaya gitu?” gue mengelak saat dia minta gue untung bertanggung jawab.
Dia menceritakan kalau saat ini dia masih istirahat dan belum selesai jam kuliahnya dan daripada bosan menunggu jeda yang cukup panjang dia menelepon gue untuk menemaninya katanya.
Gue sendiri sudah tidak kuliah lagi karena gue lebih memilih untuk bekerja menjadi seorang seniman, terkadang gue melukis atau menulis, tapi gue lebih fokus dengan band sama para sahabat gue untuk mengisi waktu gue yang cukup luang ini dan tidak jarak ikut dalam festival-festival.
“Ehmm... Ilia kalau gue ngajakin ketemuan gitu lo mau enggak?” tanya gue perlahan dari ujung telepon.
“Hah ketemuan?!”
“Iya, kenapa memangnya? Enggak mau ya?”
“Enggak, bukan gitu. Gue sih mau aja tapi gue enggak tahu bisa kapan kalau untuk ketemuan gitu masalahnya.”
Entahlah, gue pun menjadi bingung untuk mengatakan apa saat ini. Siapakah gue untuk memaksakan dirinya ketemuan dengan gue? Gue cuma orang yang baru ia kenal dan seorang pria yang baru masuk ke dalam kehidupannya.
“Gini aja deh Ryo, minggu depan akan gue usahain untuk ketemuan tapi gue enggak janji juga ya soalnya gue sibuk dengan tugas dan pelayanan gue, makanya susah cari waktu kosong tapi gue janji bakalan balas sms lo dan kalau pun gue enggak balas itu pun karena gue lagi sibuk ya.hehehehe” ucapnya yang seakan memberikan gue harapan untuk dapat bertemu dengan dirinya.
“Yaudah.” Gue menganggukan kepala gue padahal gue mengetahui kalau dia tidak mungkin dapat melihatnya. “Kabarin aja ya kalau gitu Ilia, gue siap kapan aja kok dan gue bakal nunggu waktunya itu!” Lanjut gue dengan senyum yang lagi-lagi mana mungkin dia bisa melihat ekspresi gue ini.
Kami melanjutkan pembicaraan kami di telepon ini sebentar. Ada rasa canggung di antara kami berdua, gue pun takut karena gue terlalu berani untuk mengajak dirinya ketemuan secepat ini tapi disisi lainnya ada perasaan yang membebaskan gue karena telah mengucapkan hal tersebut.
“Ryoo... sorry ya udahan dulu telepon-teleponannya soalnya bentar lagi gue udah mau masuk kelas nih. Nanti kita lanjutin lewat sms aja ya! tapi habis gue kelar kuliah hari ini, gue janji bakal sms lo duluan deh! Pasti!”
Sebelum gue dapat mengiyakan atau mengucapkan sepatah kata kepada dirinya telepon itu sudah di tutup olehnya. Gue hanya kembali terdiam seperti saat dia pergi meninggalkan gue begitu saja saat pertemuan kami waktu itu.
Semoga suatu saat nanti gue dan dia bakal dipertemukan kembali. Semoga saja itu bakal terjadi. Iya semoga, karena dalam kata ‘semoga’ ini terbesit harapan untuk dapat terjadi menjadi suatu kenyataan pada kedepannya.
No comments:
Post a Comment