Sunday, December 22, 2013

Pantai dan Laut.



Ini bukan kisah tentang sepakbola atau kisah cinta yang mendayu-dayu, ini adalah secarik kisah yang selama sebulan ini aku alami. Entah ini kebetulan atau seperti apa semesta telah merencanakan sebuah jalan cerita yang aku jalani seperti saling terkait satu dengan yang lainnya. Pertama diawali oleh sebuah acara jurusan makrab yang diselenggarakan di Anyer, lalu berlanjut kepada acara dari fakultasku yaitu Sekolah Parlemen dengan tema keamanan laut Indonesia, hingga akhirnya baru-baru ini aku ikut dalam sebuah penelitian di Pulau Seribu. Semua berkisar pada pantai dan laut.
Pengalaman yang tidak pernah ku rasakan di tempat ku sebelumnya, pengalaman yang lebih banyak aku pelajari di luar kelas dan tidak terpatok pada buku-buku yang menjadi panduan dalam perkuliahanku. Pengalaman yang mengajarkanku tentang kehidupan lainnya di luar sekat kelas, sebuah kehidupan yang memiliki manfaat tidak kalah dengan kehidupan yang dibatasi oleh sekat-sekat kelas.
***
Sebuah acara malam keakraban, memang aku sudah terbiasa dengan acara seperti ini sejak perkuliahanku pertama kalinya, namun acara ini terasa begitu berbeda daripada sebelumnya karena tempatnya. Iya, tempatnya di pantai, bukan di puncak yang malah membuatku bosan dengan suasananya, karena setiap tahun bila ada acara pasti larinya ke puncak lagi, dan puncak lagi.
Pada acara ini aku merasa seperti de javu, karena tepat setahun yang lalu aku datang ke pantai mirip dengan kejadian aku datang pada tahun ini, meski dengan orang yang berbeda dan biaya yang berbeda.
Tahun lalu, aku datang bersama dengan teman-temanku hanya mengandalkan uang seadanya, untuk bermalam pun kami lebih menikmati puas suasana pantai semalaman dengan mengandalkan tikar yang kami sewa dan untuk menaruh tas kami, atau setidaknya bisa tiduran disana saat lelah bermain di pantai. Makan pun kami hanya beli pop-mie untuk dua hari satu malam disana. Saat itu kami benar-benar merasakan terpaan angin malam, melihat bulan dan bintang yang bersinar di atas kepala kami, berlari di tepian pantai dengan deburan ombak yang menerpa kaki-kaki kami, bermain dengan ubur-ubur besar yang terdampar di tepi pantai, dan sibuk menarik tikar kami bila air laut semakin tinggi. Ah, rasanya indah sekali waktu itu. kesananya pun kami naik bis lalu berpindah-pindah angkot untuk menuju tempat tujuan.
Tahun ini, aku datang dengan teman-teman sejurusanku di kampus baruku. Berbeda dari kedatangkan pertamaku yang sangat sederahana dan mengandalkan uang yang pas-pasan atau bermain sepuasnya di pantai. Sekarang, kami menginap di satu penginapan dan makan pun tidak hanya pop mie, melainkan sudah ada menu yang kami persiapkan sebelumnya. Tidur pun tidak beralaskan dengan tikar dan beratapkan langit, tetapi dengan kasur ditemani dengan pendingin ruangan. Berbeda.
Tetapi aku bersama satu temanku, saat ombak sedang besar menerpa karang-karang kami malah pergi berlari ke tepi pantai menikmati terpaan ombak yang menghujam tubuh kami, bukannya takut malah kami tertawa sambil menantikan ombak besar yang sisa-sisanya dapat melalui karang hingga menerpa tubuh kami yang sama-sama kecil ini.
Bahkan paginya setelah sarapan, ketika waktu bebas kami kembali bermain di pantai dan aku bersama dengan para seniorku mencari pantai yang bebas dari karang untuk menikmati berenang puas tanpa takut terkena karang dan lagi-lagi bermain dengan ombak-ombak yang menghujam tubuh kami deras.
Persamaan dari kedatangan ini ialah saat hari pertama, aku datang hampir sama dengan tahun lalu, keadaan kepala botak, lalu baju, celana, bahkan sepatu pun persis seperti tahun lalu aku datang ke pantai ini. haaaah. Aneh.
Tapi, ini adalah perjalanan pertamaku sebelum aku menikmati dua kejadian lagi yang tidak jauh dari tempat ku berdiri dan sejauh pandangan mataku. Pantai dan laut. Di pantai anyer ini, aku berharap untuk dapat kembali lagi atau memahami setidaknya sedikit tentang kelautan di Indonesia, secungkil kecil saja, tidak perlu terlalu banyak karena kelautan bukanlah bidang yang aku pelajari di perkuliahan nantinya secara mendalam.
***
Tidak terlalu jauh waktu yang terbuang setelah acara malam keakraban jurusanku. Kini aku menikmati sebuah pengalaman baru lagi, pengalaman yang belum pernah ku rasakan sebelumnya, dan pengalaman yang membuatku dapat menginjakkan kakiku di rumah yang katanya rumah rakyat itu, lalu aku menyempatkan diri untuk terlelap sebentar di ruang komisi yang dingin dengan kursi mewah yang bagus.
Sebuah acara yang bertemakan tentang keamanan laut Indonesia ini menghantarkan ku kembali pada sebuah ingatan beberapa tahun yang lalu, saat di sebuah lapangan kampus lama ku sedang menyelenggarakan sebuah diskusi terbuka dan yang menjadi pembicaranya saat itu adalah Sudjiwotedjo. Saat itu, dia mengatakan :
“Masa depan Indonesia berada di laut.” – Sudjiwotedjo
Dan saat diberikan materi tentang kelautan pun pemateri mengatakan hal yang tidak terlalu jauh berbeda. Laut, Indonesia merupakan negara kelautan, hampir sebagian besar wilayahnya merupakan laut, namun terlalu sering negara ini lalai dalam laut. Entahlah apa yang menyebabkan hal itu, yang pasti laut menjadi titik lemah negara ini.
Aku lupa kejadiannya dimana saja, dan saat kejadian kapal tenggelam pun yang datang menolong kapal itu merupakan kapal asing, padahal kejadiannya berada di wilayah Indonesia. Apakah kita benar-benar terlalu lemah dalam teknologi? Entah.
Lalu seberapa kuat pasukan laut kita? Tidak terlalu kuat, memang terlalu sulit untuk mengamankan wilayah laut kita yang begitu luas ini dengan kekuatan seadanya. Aku tidak terlalu yakin bila data yang aku dapat tentang jumlah pasukan yang kira-kira satu prajurit itu mengamankan satu pulau. Entahlah, apakah data yang pernah aku baca itu benar atau tidak. Meski semboyan angkatan laut kita, jaya di laut, tetapi pada kenyataannya kita terlalu letoy di laut.
Hari kedua, dimana aku belajar sesungguhnya dari materi yang aku dapati di hari sebelumnya. Belajar mengenai tata cara sidang, belajar mengemukakan pendapat dengan beralaskan sebuah data, dan belajar mengenai bagaimana keriuhan yang terjadi pada saat sidang. Meski ini di isi oleh para mahasiswa dan dalam sekolah parlemen, aku pun dapat mengambil kesimpulan bahwa memang berat dalam sidang-sidang para anggota parlemen yang terhormat, terlalu banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Yang sering mereka lemparkan ialah kepentingan yang mengatasnamakan rakyat, padahal entah rakyat yang mana yang mereka perjuangkan.
Rasanya aku ingin kembali belajar di dalam sekolah parlemen lagi, meski aku tidak memiliki impian untuk menjadi salah satu orang yang duduk untuk mewakili suara-suara rakyat di parlemen, tapi rasanya ada sebuah keinginan untuk dapat belajar lagi disana.
***
Dan yang pengalaman yang terakhir, ketika aku pergi ke pantai dan bermain bersama deburan ombak, ketika aku pergi ke rumah rakyat untuk belajar tentang sekolah parlemen yang memiliki tema tentang keamanan laut, dan ketika itu semesta membawaku ke dalam sebuah penilitian ke beberapa pulau yang berada di utara jakarta.
Sepanjang perjalanan menuju Pulau Pramuka tempat dimana aku dan teman-teman singgah, aku tergelak melihat laut yang dihiasi oleh sampah-sampah yang bahkan membuat kapal yang kami naiki sempat terhenti karena sampah yang menyangkut pada mesin.
Di Pulau Pramuka, pulau ini merupakan pusat administrasi dari kepulauan seribu.
Hari kedua penelitian, kami pergi ke pulau kelapa dimana di pulau itu berada kantor kecamatan seribu utara. Ketika acara FGD atau Forum Group Discussion, aku mendengar pemaparan dari ibu camat dan keluh kesah dari para pemuda yang berasal dari tiga pulau, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, dan Pulau Panggang.
Lalu setelah makan siang, aku dan kelompokku pergi ke Pulau Panggang yang tidak jauh dari Pulau Pramuka. Bila kamu menanyakan bagaimana kondisi Pulau Panggang kepadaku, aku akan menjawabnya, tidak terlalu jauh berbeda dengan Cipinang. Aku tidak terlalu memiliki banyak gambaran yang teringat di benakku untuk mengambarkan kepada kalian, yang jelas saat kapal kami mulai bersandar di dermaga, bau sampah mulai terasa di hidung kami.
Bahkan ketika aku sedang menunggu temanku yang ke toilet puskemas setempat, seorang ibu keluar dari sebuah gang sedang mengendong anaknya dan di tangan satu lagi membawa satu plastik sampah, lalu yang dilakukan ibu itu melemparkan sampahnya ke tumpukkan sampah yang berada di tepi laut. Aku bingung untuk mengatakannya apa karena pulau itu tidak ada pantainya.
Kelompokku berjalan menyusuri jalan setepak untuk mendapatkan sebuah data penelitian, kami mendapatkan seorang ibu yang membuat dan berjualan kerupuk ikan, dan ada seorang ibu yang melewati kami dengan membawa sate ikan tapi tidak sempat kami bertanya kepada ibu ini karena kami sedang mengobrol-obrol dengan ibu penjual kerupuk ikan. Lalu setelah itu, tidak jauh dari tempat kami berdiri, kami bertemu dengan kelompok yang membuat ikan asin. Aku agak aneh ketika melihat ikannya yang berwarna-warna, pada awalnya kami menyangka bahwa ikan itu terkena limbah, tapi ketika aku snorkling keesokkan harinya, aku melihat ikan-ikan yang seperti para nelayan tangkap memang seperti itu.
Pulau Panggang, terlalu padat dengan rumah-rumah dan sampah yang dibiarkan begitu saja. Ketika aku bertemu dengan ketua RT setempat pun, ia sempat mengatakan kepadaku tentang pemberian bantuan yang tidak merata, ia menjelaskan bahwa bila ada pemberian bantuan dari pemerintah biasanya dikuasai oleh orang-orang itu saja dan keluarganya, meski dia ketua RT dia pun tidak mendapatkan peran dalam pendistribusian bantuan.
Pemuda Pulau Panggang pun kalau ingin bermain sepakbola harus pergi ke Pulau Pramuka karena di pulau mereka tidak ada lapangan untuk bermain. Sekolah pun harus menyeberang antar pulau. Ah, mereka berjuang untuk mendapatkan pendidikan, sedangkan banyak pemuda di Jakarta yang malah menganggap remeh dan bersunggut-sunggut tentang fasilitas sekolah mereka.
***
Ada kegetiran dalam hatiku melihat laut dan orang-orang pulau. Kedua hal ini sering kita kesampingkan, bahkan kita tidak jarang kita menganggap bahwa laut adalah tempat pembuangan, seperti kata-kata, ‘cewek matre ke laut aja.’ Atau banyak hal lagi, mungkin ini adalah ceritaku tentang pengalamanku. Apakah kamu memiliki cerita juga? Bila kamu memilikinya, dapatkah kita berbagi cerita itu?
Aku rindu untuk dapat menginjakkan kakiku ke pasir-pasir yang disapu oleh buliran ombak. Aku rindu untuk dapat kembali ke pulau seribu, bahkan aku memiliki harapan untuk pergi ke pulau lainnya di Indonesia. Bukan hanya untuk berlibur, tetapi melakukan sesuatu bagi mereka.
Mungkin dalam tulisan ini tidak terlalu banyak hal yang menyambung dan membuat  kamu terkantung karena membaca tulisan yang panjang ini. tetapi di penutup ini, marilah kita bermain ke pulau dan laut bukanlah tempat sampah! Laut adalah masa lalu kita dan laut juga masa depan kita.

Sunday, December 15, 2013

Perempuan Tanpa Nama.

Entahlah. Aku lupa sejak kapan tepatnya dan sampai kini pun aku tetap tidak mengetahui siapa perempuan itu. Perempuan yang terkesan biasa-biasa saja untuk sebagian banyak orang, namun begitu mudahnya menyita seluruh perhatianku untuknya. Memiliki tinggi yang tidak jauh terpaut daripadaku, rambutnya yang panjang, agak gemuk, dan yang terpenting yaitu aku selalu suka saat ia tersenyum.

Mungkin, di mulai sejak saat aku bertemu dengan dirinya di dalam gereja, saat dirinya sedang menjadi penerima tamu. Ia melemparkan senyum kepada siapa pun yang masuk ke dalam gereja untuk beribadah dan menyapa mereka sekaligus menyalaminya. Aku pun mendapatkan senyuman itu, memang benar bahagia itu sederhana. Sesederhana kita jatuh cinta pada pandangan pertama dan sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.