Sunday, December 15, 2013

Perempuan Tanpa Nama.

Entahlah. Aku lupa sejak kapan tepatnya dan sampai kini pun aku tetap tidak mengetahui siapa perempuan itu. Perempuan yang terkesan biasa-biasa saja untuk sebagian banyak orang, namun begitu mudahnya menyita seluruh perhatianku untuknya. Memiliki tinggi yang tidak jauh terpaut daripadaku, rambutnya yang panjang, agak gemuk, dan yang terpenting yaitu aku selalu suka saat ia tersenyum.

Mungkin, di mulai sejak saat aku bertemu dengan dirinya di dalam gereja, saat dirinya sedang menjadi penerima tamu. Ia melemparkan senyum kepada siapa pun yang masuk ke dalam gereja untuk beribadah dan menyapa mereka sekaligus menyalaminya. Aku pun mendapatkan senyuman itu, memang benar bahagia itu sederhana. Sesederhana kita jatuh cinta pada pandangan pertama dan sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.


Ah, memang jatuh cinta itu terlihat sangat sederhana tapi mengungkapkannya itu yang lebih rumit daripada mengerjakan soal-soal matematika atau fisika yang penuh dengan rumus. Jatuh cinta itu biasa saja, tidak ada yang spesial dalam jatuh cinta. Namun, ketika jatuh di dalam cinta itu sendiri semuanya terasa begitu indah. Melihat senyumnya pun sudah cukup membuat hati terbang menembus langit lapisan ketujuh.

Perempuan itu, memang aku tidak terlalu mengenal dirinya, dan aku pun hanya dapat bertemunya sekali dalam seminggu itu pun kalau beruntung, kalau tidak beruntung aku tidak dapat bertemu dengannya.

Perempuan itu, ah, terlalu aneh bila aku jelaskan dan deskripsikan tentang dirinya karena kembali lagi ke awal aku tidak terlalu mengenal dirinya. Mengetahui namanya pun aku tidak tahu, aku hanya menyebut dirinya perempuan tanpa nama.

Teori-teori yang diucapkan oleh ahli sosiologi pun tidak dapat menjelaskan bagaimana tentang cinta itu. cinta itu terlalu abstrak untuk dapat dilukiskan, terlalu sulit untuk diucapkan melalaui kata-kata. tapi, apakah cinta itu sama seperti nafsu?

Kembali pada perempuan tanpa nama itu. berkali-kali aku melihat dirinya sedang mengajar anak-anak kecil di sekolah minggu yang letaknya berada di sudut ruang gereja. Ia hanya tersenyum saat anak-anak kecil itu melakukan tingkah-tingkah yang membuat emosi meningkat. Ia tidak pernah memarahi anak-anak itu, hanya tersenyum dan menegurnya dengan halus. Mungkin, perempuan seperti dia merupakan idaman setiap laki-laki.

Dia. Dia yang mampu membuatku terdiam dan lidahku begitu kelu saat berpapasan dengannya. Awalnya, aku sudah meniatkan diriku untuk menyapanya atau berkenalan dengan dirinya bila berpapasan, tapi... keberanianku menghilang, menguap entah kemana, dan hanya menyisakan segala penyesalan karena melewati waktu yang seharusnya dapat aku jalani.

Lagi-lagi, aku menyisipkan frasa mungkin dan mungkin. Aah, mungkin aku tak cukup layak untuk dapat berkenalan dengan seorang perempuan yang aku kagumi itu, mungkin saja aku tidak memiliki keberanian yang besar, dan mungkin saja aku hanya sanggup untuk mengaguminya dari kejauhan saja, atau mungkin saja memang aku seperti seorang pengecut yang tidak memiliki keberanian untuk maju.

Bahkan, aku pun lebih menyukai untuk menyalahkan keadaan dan mengatakan bila semesta tidak merestuiku untuk dapat melangkah lebih dari sekedar mengetahuinya.

Apakah memang setiap cinta membutuhkan keberanian? Atau cinta memang membutuhkan yang namanya pengorbanan? Aku, aku telah melakukan kedua hal itu. Aku memberanikan diriku untuk mengaguminya dari kejauhan, dan untuk soal pengorbanan? Tidak perlu ditanya lagi, aku telah berkorban perasaanku yang hanya sanggup mencintainya sebelah tangan. Kurang pengorbanan seperti apa lagi yang aku lakukan, perasaan ini terkuras habis hanya karena sakit mencintai tanpa dikenal bahkan aku pun mencintai seseorang yang tidak terlalu aku kenal.

Sebenarnya aku tidak terlalu setuju dengan ucapan bila cinta itu buta. Karena menurutku awalnya, bila cinta itu buta berarti kita tidak dapat melihat keindahan cinta itu bukan? Atau bila cinta itu buta kita akan tersesat dalam gelap, seperti yang berada dalam lirik lagu Efek Rumah Kaca.

Tapi, setelah aku menjalaninya membuat aku mengangguk setengah setuju dengan ucapan itu. iya, cinta itu memang buta dan membutakan. Kita dapat dibutakan oleh keindahan cinta, sampai-sampai kita sulit untuk meninggalkan cinta yang menyakiti hati. Dan, aku pun demikian, aku dibutakan oleh pesona senyum perempuan tanpa nama itu untuk mencintainya dalam gelap dan aku tersesat dalam kegelapan itu, tanpa aku tahu dimana jalan keluarnya dan bagaimana dapat aku keluar dalam gelapnya ruangan berliku menuju hatinya.

Terkadang, aku bertanya pada diriku sendiri tentang mengapa aku bisa jatuh cinta terhadap perempuan yang namanya pun aku tidak ketahui? Hingga akhirnya aku pasrah terhadap waktu dan semesta. Biarlah mereka berdua yang membantuku untuk menjawab satu pertanyaan mendasar yang berada di benak tersebut.

Aku memilih pasrah, menyerah, dan merelakannya kepada waktu dan semesta. Lebih terutamanya lagi, aku tidak berani untuk mencari jawabannya selain karena senyuman perempuan tersebut. Aku takut bila aku menemukan jawabannya nanti yang ada bukan cinta, karena terkadang cinta memang tidak memerlukan alasan-alasan yang mendasari mengapa kita dapat jatuh cinta.

Berbagialah orang yang sedang mencintai dalam kesendiriannya. Haaah, mungkin itu seperti kalimat yang terlalu basi untuk menghibur diri sendiri, atau juga memang kalimat itu ditunjukan untuk menghibur orang-orang yang sama seperti aku rasakan. Karena memang kebahagiaan bukan hanya dimonopoli oleh orang-orang yang berhasil saling mencintai, tapi kebahagiaan itu juga milik semua orang bukan? Seharusnya kebahagiaan yang diberikan kepada orang yang mencintai sendiri itu diberikan lebih, karena mencintai dalam sendiri itu menyedihkan dan perih. Cinta sendiri itu memakan hati, bahkan ketika kita sudah ke-geer-an dan terbang begitu tinggi dengan harapan pada cinta itu dapat dijatuhkan dari ketinggian yang sangat tinggi, lalu yang dihasilkannya hanyalah sakit.

Hanya senyuman itu yang mampu membuatku untuk dapat bertahan, hanya melewati foto-fotonya yang terpajang di berbagai media sosialnya, atau hanya melihat atau mengetahuinya sedang bahagia saja itu sudah cukup untuk melegakan hati. Meski, kebahagiaan itu diberikan oleh seorang pria lain yang ia cintai bukan karena aku yang memberikannya kepada dirinya.

Bahkan, saat dia terluka jatuh karena cintanya, aku tak dapat melakukan apa-apa hanya mengamatinya dari jauh bahkan sangat jauh di tempat dimana dia tidak mengetahui keberadaanku yang selalu memperhatikan dirinya. Aku bukanlah siapa-siapa yang dapat seenaknya masuk menawarkan tanganku dan membuat dia kembali tersenyum lagi.

Dia adalah cinta yang tak akan kunjung datang dan cinta yang tak pernah saling mengenal. Sedangkan aku, aku merupakan seseorang yang terlalu berani berdiri  dan memperhatikan dirinya tanpa sedikit pun aku membuka diri siapa yang selalu ada dibelakangnya yang mendoakannya, menyemangatinya, dan mencintainya. Seseorang yang tidak akan pernah melangkah maju keluar dari dalam bayangannya sendiri untuk meraih cinta yang ia kagumi.


Semoga, setiap barisan aksara ini dapat membisiki semesta dan angin untuk memberitahukan kepada perempuan tanpa nama itu.

No comments:

Post a Comment