Wednesday, November 20, 2013

Gelap dalam Senja.




Langit sore itu terlihat berbeda dari biasanya, matahari kembali ke peraduannya lebih cepat daripada biasanya. Dan, pandanganku terhenti pada satu perempuan yang baru aku kenal beberapa hari yang lalu, namun aku selalu memperhatikan dirinya sudah lama dalam kesendirianku.


Enno. Nama perempuan itu yang memiliki tinggi hampir sama denganku, memiliki rambut pendek menyentuh bahunya, dari yang aku perhatikan ia sangat menyukai menggunakan tas perempuan-perempuan lainnya yang selalu berada di tangan kanannya dan sepatu kets berwarna merah, tapi lebih dari itu aku selalu menyukainya ketika ia sedang mengunakan kacamata yang belakangan ku ketahui kacamata itu selalu ia gunakan ketika di dalam kelas untuk membaca.

Dari mejaku terlihat jelas raut wajah perempuan itu yang ditekuk seakan ada kesedihan mendalam di dalamnya. Perempuan itu memang sering terlihat sendiri atau sibuk dalam gadgetnya, namun sore itu terlihat sangat berbeda. Enno duduk sendiri dan memandangi hujan yang turun dengan tatapan yang sendu.

Aku memandanginya dan mengangkat cangkir kopiku yang masih panas, lalu pindah duduk disebelah Enno dan ikut menatap butiran hujan yang jatuh membasahi tanah. Hampir sepuluh menit aku mengamati hujan dan sesekali melihat wajah perempuan itu tanpa sedikit pun aku membuka pembicaraan di antara kami berdua.

Hujan terus turun dan belum memberikan tanda-tanda untuk mereda malah yang aku perhatikan ialah, semakin deras dan anginnya semakin kencang berhembus. Lapangan sepakbola yang tidak jauh dari kantin pun sudah terendam dengan air yang menggenang di atasnya, semakin lama semakin banyak mahasiswa yang meneduh di kantin atau memang terjebak tak bisa pergi.

***

“Hai, N!” sapaku memecahkan keheningan di antara kami sekaligus menyadarkan dirinya dari lamunannya.

“Eh, L!” ucapnya kaget sambil menyeka matanya memastikan bila tidak ada air mata yang menetes, “Udah lama?” lanjutnya ragu.

Aku hanya tersenyum dan menyeruput kopi hitamku yang mulai mendingin.

“Lagi ada masalah ya, N?” tanyaku pelan menatap wajahnya yang masih belum berubah sejak tadi, “Kalau gue perhatiin dari tadi sih, jawabannya iya.” Lanjutku sok tahu yang malah membuat wajah Enno tertunduk dan merah padam.

Aku dan Enno memiliki perjanjian ketika awal perkenalan kami, ia memanggil aku dengan ‘L’ dari Lemuel sedangkan aku memanggil dia ‘N’ dari Enno.

Bibir Enno bergerak-gerak seakan merapal sebuah kata yang tak terucap melalui bibirnya. Tangannya ia kepal kuat di atas meja. Tiba-tiba, ia menghembuskan napas panjang dan memaksa diri untuk tersenyum.

“Bener apa yang lo bilang, cuman gue ragu bisa apa engga cerita dengan lo, N.” Kata Enno dengan keraguan yang ku dengar. Ia merasa takut, wajar karena aku dengan dirinya tidak terlalu dekat sebelumnya dan sekarang tiba-tiba aku datang ketika ia sedang memiliki masalah lalu menawarkan keterbukaan pada dirinya.

“Baiklah, gue engga maksa kok, tapi kalau lo mau cerita... gue siap dengar dan kasih solusi sama lo kok, N!” balasku tenang memberikan senyuman kepadanya.

Aku tahu dia belum dapat sepenuhnya percaya dengan diriku, siapalah aku ini untuknya? Sahabatnya saja bukan, hanya sebatas kenal dan tidak terlalu akrab dengan dirinya. Sekarang, semua berjalan sangat cepat dan tak pernah dapat aku bayangkan sebelumnya.

Enno melepas kacamatanya, memejamkan matanya, lalu menghela napasnya lebih dalam lagi.

“Gue habis berantem sama cowok gue.” suaranya yang pelan membuat samar terdengar olehku, suaranya dapat dikalahkan oleh suara geluduk yang menyambar-nyambar. “Dia selingkuh N!” lanjutnya meninggi mulai bercampur dengan emosi di dalamnya.

Aku terdiam ketika mendengar kata-kata itu, aku mengetahui bagaimana rasanya diselingkuhin. Sakit! Sangat sakit! Bagaimana bisa seorang pria lain mengecewakan perempuan yang menurutku begitu luar biasa dan unik seperti Enno? Mengapa dia begitu bodoh menyia-nyiakannya?

“Lebih sakit lagi, dia selingkuh dengan sahabat gue sendiri, N!” katanya mulai meninggi dan air mata mulai jatuh kembali dari kedua bola matanya yang indah itu, “Gue udah tahu ada yang engga beres antara mereka, tapi mereka selalu bilang kalau mereka cuman teman dan engga lebih N! Gue sakit dibohongin sama sahabat gue sendiri!”

Aku diam. Takut untuk memberikan sebuah pendapat ketika Enno sedang begitu emosi.

Hal ini merupakan kali kedua aku melihat seorang perempuan menangis tepat di depanku. Pertama aku melihat perempuan menangis di sampingku ketika aku melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh pacarnya Enno saat ini, aku begitu bodoh dan tolol saat itu. Menyiakan kasih dan sayang dari seseorang yang mencintaiku saat itu dengan kebahagiaan sesaat, sampai saat ini aku pun masih larut dalam bayang-bayang penyesalan kejadian itu. Dan sekarang, kejadian itu hampir sama, sama-sama seorang perempuan menangis di sisiku karena perselingkuhan, tapi bedanya bukan aku yang menjadi pelaku perselingkuhan itu.

“Bangsat! Harusnya gue bisa ngerti alasan cuman teman itu, semua memang berawal dari teman sebelum berakhir menjadi pasangan, tapi kenapa kejadian ini harus melibatkan sahabat yang gue paling gue percaya sih?” 

Aku meneguk ludahku sendiri, emosi Enno benar-benar sudah memuncak hingga beberapa kali ia mengebrak meja yang menarik perhatian di sekitar kami.

Ku raih tangannya dan menggenggam erat.

“N, sabar N! Gue tahu ini begitu berat yang lo rasain, gue ngerti apa yang lo rasain, N.” Ucapku datar menenangkan dirinya.

“Lo tahu apa tentang yang gue rasain L? Gue udah sahabatan dari kecil dan gue sama cowok gue pun hampir dua tahun! Lo engga bakalan tahu L! Karena lo itu cowok dan engga bakalan bisa ngerti apa yang cewek rasakan L! Engga bakalan bisa!” bentaknya berapi-api dan di setiap akhir kalimatnya penuh dengan penekanan.

Tanpa pikir panjang aku langsung menariknya ke dalam dekapanku. Dari banyak buku yang aku baca, salah satu efektif membuat perempuan tenang ketika emosi ialah dengan memeluknya dan membiarkan dirinya menangis membasahi pundak kita.

“Tenangin diri lo dulu! Gue ngerti apa yang lo rasain, karena gue pernah berada di posisi seperti lo, N!” bisikku lemah sambil terus mengelus rambutnya yang pendek itu, aroma parfumnya masuk ke dalam hidungku dan dengan sangat terpaksa aku harus menghirup aroma menyengat dari parfum perempuan yang tidak terlalu aku sukai.

Enno terus menangis di dalam dekapanku hingga membasahi pundakku. Aku tidak terlalu memperdulikan apa yang orang pikirkan tentang kami, yang aku pikirkan hanyalah satu. Membuat seorang yang telah lama aku perhatikan ini dapat kembali tenang dulu.

Aku merasa seperti de javu, kejadian ini benar-benar mirip seperti kejadian tiga tahun yang lalu. Mantan kekasihku dulu menangis hingga sesegukkan di dalam dekapanku saat kejadian seperti ini, sama bahkan persis dengan kejadian dulu. Sekarang Enno menangis sesegukkan dalam pelukanku.

“Lo dulu pernah di selingkuhin juga, N?” suaranya memberat dan terpotong-potong. Aku menggelengkan kepalaku lemah. Enno menatapku dengan heran dan berusaha untuk mengerti apa maksudnya. “Lalu?”

“Dulu gue yang pernah selingkuh dan gue melihat mantan gue dulu nangis seperti lo, N. Makanya gue bisa mengerti apa yang lo rasain.” Jawabku tenang mendekap Enno semakin erat dan kuat.

“Lo pernah selingkuh?” tanya Enno sekali lagi untuk memastikan apa yang ia dengar itu benar dan lagi-lagi aku hanya dapat tersenyum dan mengangguk.

Ia diam. Melepaskan tubuhnya dari pelukanku.

“Gue kira lo beda, L! Ternyata, lo sama dengan cowok lain juga. Sama-sama brengseknya!”

“Tenang aja, kali ini gue udah sadar, N! Gue tahu itu salah, dan apakah semuanya akan lo cap semua cowok brengsek kalau pernah selingkuh?” sanggahku cepat memberikan sebuah pertanyaan kepada perempuan berambut pendek ini.

Lagi-lagi Enno diam dan suasana yang terjadi ialah serba canggung saat itu. Serba salah dan aneh. Ia dan aku hanya diam, kami berdua berada di sebuah kata yang tak terucapkan dan garis keegoisan kami tentang siapa yang memulai pembicaraan terlebih dahulu.

***

Aku menghirup udara dan membuangnya secara perlahan. Hujan yang turun mulai mereda, berubah menjadi rintikkan. Para mahasiswa yang tertahan di kantin karena hujan, satu per satu mulai menerobos rintikan hujan dan meninggalkan kantin.

“N, ternyata hujan saat sore seperti ini tidak selalu membawa tentang keburukkan saja loh.” Aku memecahkan keheningan di antara kami.

“Maksud lo?” tanyanya heran dan menyipitkan matanya.

“Iya, karena hujan seperti ini gue bisa ngobrol panjang sama lo. Bahkan engga kerasa ini udah cangkir kopi yang kedua.” Jawabku polos dan tenang sambil meniup kopi yang masih panas, “Sama seperti halnya tentang selingkuh, engga semua membawa tentang keburukan doang kok. Percaya sama gue.”

Enno menatapku semakin heran dan tidak mengerti dengan apa yang aku katakan.

“Iya, karena perselingkuhan itu lo bisa tahu, apakah dia benar-benar tulus mencintai lo atau engga? Atau, bahkan aja dari kejadian itu hubungan lo bisa semakin kuat kan?” aku melanjutkan penjelasanku namun sayangnya Enno masih kurang paham dengan apa yang aku katakan.

“Gue engga ngerti, tapi kejadian lo dulu, bertahan atau bubar?” Enno berbalik bertanya kepadaku.

Mendengar pertanyaan itu, aku hampir tersedak saat sedang menyeruput kopiku.

“Bubar dan gue sampai nunggu dia sampai setahun untuk bisa balik lagi, tapi tetap engga bisa.”  Jawabku bergetar mencoba untuk menenangkan degupan jantungku ketika diingatkan tentang masa lalu.

“Saat itu gue menyesal gila, karena gue menyia-nyiakan orang yang tulus mencintai gue dan ternyata hati itu sama seperti kaca, kalau udah pecah meski udah disambung-sambung pun tetap masih ada bekas, bahkan bisa engga bisa nyambung lagi.”

“Iya, gue setuju dengan yang lo bilang L! Gue engga tahu deh, bisa maafin mereka atau engga?”

“Kalau untuk permasalahan maaf, saran gue untuk lo N. Maafin mereka, apa lagi sama sahabat lo sendiri, masa persahabatan lo juga putus karena kejadian kaya gini doang kan?” aku tersenyum memandangi Enno yang mulai dapat tersenyum.

“Benar juga sih, terima kasih ya, L!” Enno langsung memelukku erat, ada kehangatan yang terjadi dalam pelukan ini meski udara sore itu dingin setelah hujan.

Aku mengelus rambut dan punggungnya. Hanya itu yang dapat ku lakukan, terkadang yang dibutuhkan perempuan itu didengar saat dia bercerita dan dekap dia bila ia mulai menangis. Kali ini senja berbisik kepadaku tentang sebuah kepedihan, rasa sakit hati, dan kekecewaan, senja bercerita melalui seorang perempuan yang tak mungkin dapat ku raih nantinya.

Enno, terima kasih karena menyadarkan aku tentang rasa sakit hati dari perselingkuhan itu lagi.

“L, hujannya udah reda, lo engga cabut?” tanya Enno membuat ku sadar dari lamunanku.

“Engga, gue masih ada satu kerjaan yang belum gue kelarin disini,”

“Oh, yaudah deh. Gue cabut duluan ya, L! Sekali lagi, terima kasih banget untuk waktunya dan dengerin gue curhat!” ucapnya lalu meninggalkanku begitu saja.

Aku memperhatikan setiap langkah kaki Enno yang perlahan menjauh dan menghilang.

Harusnya yang berterima kasih itu gue, bukan lo N! Kita memang dapat memberikan sebuah alasan untuk bersedih karena dikecewakan sama orang yang paling dekat sama kita sekali pun, tapi hanya ada satu alasan yang paling penting, kita harus tetap bahagia dalam menjalani hidup ini meski berat untuk dapat bahagia.
Tetaplah tersenyum dan bahagia, Enno. Tetaplah seperti senja yang selalu dinantikan meski, kadang gelaplah yang muncul membawa air hujan yang membasahi bumi.

No comments:

Post a Comment