Malam ini hujan kembali membasahi kota, tidak pelan ia terjatuh, tetapi
begitu liar dan ribut setiap buliran air yang jatuh. Aku memang menyukai
suasana hujan, tetapi aku terlalu bosan bahkan benci dengan hujan di bulan
Januari atau Februari. Untukku, hujan di bulan Desember merupakan yang
terindah, bukan karena sebuah lagu tetapi karena sebuah cinta yang tanpa
memerlukan alasan.
Secangkir kopi hangat aku sesap guna mengurangi rasa kantukku. Kafein
yang terkandung di dalam kopi selalu dikatakan oleh orang-orang dapat membuat
mata ini tetap melek, tetapi untukku, itu tidaklah terlalu berguna cukup
banyak, aku tetap merasakan kantuk yang berat dan tidak memerlukan waktu untuk
terlelap meski sudah menyesap kopi yang selalu kental dan pahit bila aku yang
membuatnya.
Air dalam gorong-gorong sudah mulai kembali penuh, padahal hujan baru
sebentar turunnya. Dan tidak memerlukan waktu yang lama pula untuk meluber
tumpah menutupi jalan depan rumahku, baru semata kaki.
Aku kembali menjatuhkan mataku ke lembaran kertas pada malam tanpa
bintang, malam yang ditemani dengan hujan yang deras diikuti dengan rentetan
petir yang saling menyambar. Ah, temanku satu lagi ialah ras was-was akan air
yang semakin naik akan masuk ke dalam rumahku.
Rumahku masih seperti pertama kali kami menempati rumah ini, tidak
seperti rumah-rumah tetanggaku yang sudah mengalami renovasi dan meninggikan
rumah mereka guna mencegar banjir masuk ke dalam rumah.
Kopi, hujan, novel, dan kecemasan akan air yang semakin meninggi. Aku
tidak menyukai hujan di dua bulan pembuka tahun ini. Bila hujan datang,
terbitlah banjir bersama dengan kemacetan jalanan ibukota. Tidak, tidak hanya
bila hujan tetapi jalanan ibukota memang selalu membawa cerita kemacetan setiap
harinya, tapi kali ini berbeda. Banjir menghadirkan cerita tersendiri.
Rasa kantuk yang belom hilang
setelah terkena kafein pun membuat mataku begitu cepat lelah membaca, aku
menyenderkan badanku di kursi dan tetap memaksakan diri untuk membaca,
setidaknya aku akan dapat satu atua dua lembar sebelum sepenuhnya aku tertidur
di ruang ini.
Kakiku mulai merasakan dingin
dan basah, air yang masuk dari sela-sela pintu mulai dengan cepat masuk mengisi
setiap tempat di rumahku. Baik itu dari depan atau dari belakang, semuanya
secara tiba-tiba sudah memenuhi rumahku. Seperi cinta yang tak dapat kita
ketahui kapan ia akan menyergap kita masuk ke dalamnya, tiba-tiba seluruh
relung hati ini sudah penuh dengan cinta dan otak dipenuhi bayangan orang itu.
Berputar dan terus berputar.
Kali ini aku tak dapat melakukan
apa-apa, hanya duduk dengan tenang di kursiku dan mengangkat kakiku dari banjir
yang sudah masuk ke dalam rumah. Beruntungnya, barang-barang yang sudah naik
belum diturunkan semuanya setelah banjir pertama kali masuk ke dalam rumah pada
jumat malam yang lalu.
Di saat-saat seperti ini,
ingatanku kembali pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat pertama kali aku
percaya bila malaikat itu bukanlah hasil karya imajinasi manusia, tetapi
malaikat itu benar-benar ada. Malaikat itu begitu indah, hangat, dan teduh.
sayangnya, kali ini malaikat itu datang tanpa membawa selendang. Bila ia
membawa selendang, aku akan mengambil selendang itu agar malaikat itu akan
selalu berada di bumi dan bersama denganku. Ah, tidak mungkin di jaman seperti
ini malaikat datang dengan membawa selendang, apa yang mereka lakukan disini
dengan membawa selendang itu?
***
Hujan di Jumat itu sangat awet
membasahi Jakarta. Anak-anak kelas tiga yang masuk pagi masih betah berada di
sekolah, mereka laki-laki yang beragama muslim mulai berjalan ke Masjid yang
berada di ujung dari koridor, sedangkan yang perempuan atau yang beragama
non-muslim berada di kelas menantikan hujan reda.
Seorang laki-laki masih
bermalas-malasan di dalam kelas, sweater
hitam miliknya digunakannya sebagai penutup kepala dan tas yang diisi dengan
beberapa buku dijadikan sebagai alas untuk kepalanya.
Laki-laki itu yang sedari tadi
berusaha dengan keras untuk memejamkan matanya untuk mendapatkan waktu
istirahat setidaknya satu atau setengah jam sudah cukup baginya. Tetapi, tidak
dapat. Matanya seakan melawan kehendak dari otak yang meminta untuk merem, apa
daya ia terpaksa untuk tetap melek.
Jam digital yang berada di
tangan kirinya berkali-kali ia perhatikan, tetapi setiap kali ia memperhatikan
jam tangannya tersebut. Angka-angka yang berada di menit tidak pernah berubah
jauh. Waktu seakan bergerak lambat bagi laki-laki itu.
Kemudian, ia menegakkan badannya
lalu merapikan rambutnya yang berantakan dan memakai kembali sweater hitamnya. Laki-laki itu berjalan
dengan tenang dan membuka pintu kelas, baru selangkah ia keluar dari dalam
kelas. Seorang perempuan menabrak dirinya yang membuat es susu cokelat tumpah
membasahi sweater laki-laki tersebut.
“Sorry, Sorry, gue bener-bener engga sengaja, dan gue engga lihat
kalau ada lo.” Ucap perempuan itu dengan raut wajah yang kebingungan.
Laki-laki itu diam dan
memperhatikan perempuan itu dengan seksama. Rambutnya yang panjang, memiliki
badan yang tidak dapat dikatakan kurus tetapi juga tidak gemuk, dengan kulit
eksotisnya, dan mata laki-laki itu sekarang tertuju pada dadanya yang terdapat
nama dari perempuan itu siapa.
“Iya udah, gapapa kok. Gue juga
salah kok, Annastassia Maria.” Jawab laki-laki itu dingin dan terbata-bata
mengeja nama dari perempuan tersebut.
Annastassia Maria. Nama yang ribet dan aneh. Batin laki-laki
tersebut.
Keheningan hadir di antara
mereka berdua, tatapan mereka tidak pernah bertemu tetapi saling berusaha untuk
mencuri kesempatan untuk melihat lawan bicara mereka. Sunyi dan sepi ada di
antara mereka, tetapi mereka. Tidak ada satu pun yang bergerak atau pergi,
masih tetap pada posisi mereka terjatuh. Tangan laki-laki itu tetap di pundak
Tassia.
Plaaak!
Entah tanpa sebab yang jelas,
Tassia menghempaskan telapak tangannya pada pipi laki-laki itu cukup keras dan
cukup membuat merah tangannya. Laki-laki itu terdiam dengan memegangi pipinya
yang mulai memerah, tapi cukup anehnya laki-laki itu tidak merubah ekspresinya,
tetap dengan kedinginannya.
“Sorry,” lagi-lagi hanya kata itu yang diucapkan dan pergi begitu
saja, tanpa memberikan penjelasan mengapa ia melakukan tamparan yang keras itu.
Laki-laki itu tetap duduk di
depan kelasnya sambil memandangi punggung Tassia yang perlahan mulai menjauh
dan masuk ke dalam kelas yang diujung. Kali ini, laki-laki itu tersenyum ketika
Tassia sudah masuk ke dalam kelas. Senyum sinis dengan tatapan mata yang tajam.
***
Sudah hampir jam empat sore,
hanya murid laki-laki itu masih duduk di dalam kantin dengan satu gelas es teh
manis dan ia sibuk membaca komik dengan menempelkan earphone menyetel lagu-lagu yang membuatnya tenang.
Laki-laki tersebut bukan tidak
memiliki teman, tetapi ia terlalu bosan untuk ikut ke dalam kegiatan ekskulnya
sehingga lebih memilih menyendiri di kantin.
Suasana kantin saat itu tidak
seperti biasanya, setelah hujan deras yang berhenti setengah jam yang lalu,
murid-murid yang lain langsung memilih untuk meninggalkan sekolah bila masih
ada murid yang di sekolah itu karena mereka memiliki kegiatan ekskulnya
masing-masing.
Tidak ada suara deritan sepatu
atau teriakan dari anak-anak futsal. Tidak ada juga suara dari anak-anak paduan
suara. Suasana sekolah sore itu tenggelam dalam keheningan yang tidak biasa.
Berkali-kali laki-laki itu
memperhatikan jam tangannya dan berkali-kali juga ia menguap. Entah apa yang
sedang ia lakukan di sore yang tidak biasa ini. Mungkin, dia sedang menantikan
seseorang? Atau dia hanya menyendiri dengan komiknya di sore ini?
Tiba-tiba, laki-laki itu menutup
komiknya dan menghela napasnya dalam-dalam. Dia
datang. Ucapnya dalam hati.
“Hoi, Tas!” sapa laki-laki itu
kepada salah satu dari gerombolan murid perempuan yang masuk ke dalam kantin.
Telinga Tassia cukup baik untuk
dapat mendengar ada seseorang yang memanggilnya, dan matanya pun cukup baik dengan
segera menemukan asal suara itu berada. Tassia mengacuhkan panggilan itu dan
berjalan bersama dengan gerombolannya.
Dalam hati perempuan ini, ia
dilemma untuk memilih dan ia masih mengingat kejadian tadi siang ketika
laki-laki yang tidak sengaja ditabraknya memperhatikan dadanya dengan mata yang
memperhatikannya begitu dalam seakan tidak mau lepas dari apa yang sedang
dipandangnya. Menurut Tassia, laki-laki itu tidak terlalu beda dengan laki-laki
yang lain. Sama-sama memiliki mata yang mesum.
“Annastassia!” teriak laki-laki
tersebut ketika panggilan yang pertama tidak digubris oleh Tassia yang sontak membuat seisi kantin yang
untungnya tidak ramai langsung memperhatikan laki-laki tersebut.
Tassia diam.
Teriakkan kedua. Semakin keras.
Tassia tetap berpura-pura tidak
mendengar.
Teriakkan ketiga. Terakhir.
Pelan, namun terdapat penekanan ketegasan di dalamnya.
Tassia berdiri dari bangku, “Ada
apa lagi? Kan tadi gue udah minta maaf sama lo, dan itu masih kurang?”
Laki-laki itu tidak bersuara.
Senyuman yang ia tarik tipis dengan gerakkan tangan yang mengisyaratkan supaya
Tassia datang menghampirinya.
Perempuan itu menghela napasnya,
jantungnya berdegup cepat. Egonya yang tinggi akhirnya rubuh oleh karena
senyuman tipis laki-laki tersebut.
“Gue Andre,” laki-laki itu
memperkenalkan dirinya saat Tassia berada di depannya. “Terima kasih ya, untuk
tamparannya tadi siang.” Lanjut laki-laki itu dengan tenang dan membuat kening
Tassia berkerut.
“Kenapa? ada yang salah?” tanya
Andre ketika memperhatikan Tassia yang masih kebingungan.
“Kan, gue nampar lo dan kenapa
lo malah terima kasih? Apa ini kalimat sarkas untuk nyindir gue?”
Andre menggeleng.
“Terus?”
Andre menghela napasnya lebih
dalam, lalu tertawa kencang.
“Mungkin, tadi lo salah sangka
pas gue baca nama lo. Padahal gue cuman mau tahu nama lo doang dan engga
seperti yang lo pikirkan.”
Tassia menunduk, ia tak kuat
menahan tengkuk lehernya dan malu bila Andre melihat yang terjadi dari
perubahan wajahnya saat itu.
“Dan, ini buat lo. Anggap aja
sebagai permintaan maaf gue dan yang pentingnya, disitu ada nomor gue kok!
Hahaha.” ucap Andre sambil memberikan satu batang cokelat kepada Tassia.
Hati Tassia semakin tidak
karuan. Jantungnya berdegup lebih kencang lagi dan darahnya berdesir sangat
cepat.
“Tapi...”
“Engga usah pake tapi-tapian,
gue ngasih ke lo iklas dan –“ kalimat terakhir tidak mampu untuk diselesaikan oleh Andre. Bibirnya terlalu
kaku untuk dapat bergerak dan kalimat terakhir itu hanya tertahan ditenggorokannya,
takkan pernah mampu untuk diselesaikan.
Semua orang benci dengan menanti
dan lebih menyakitkan bila digantung. Apa lagi digantung dalam pembicaraan, itu
sangat tidak sopan karena membuat orang yang telah mendengar menjadi penasaran
dengan akhir dari kalimat tersebut.
Kalimatnya sore itu menguap
begitu saja, entah kemana. Andre yang memiliki keberanian kecil untuk
mengucapkan kalimat itu, langsung pergi begitu saja meninggalkan Tassia. Pergi
membiarkan Tassia bingung dan tak mengerti apa yang terjadi. Pergi membiarkan
Tassia hanya berada di angannya untuk selamanya.
Andre tidak pernah jujur dalam
perasaannya. Andre menjadi seorang pecundang yang hanya berani mencintai dalam
bayang semu. Andre, meski ia dekat dengan Tassia dikemudian hari tapi ia tetap
menyimpan dan mengunci rapat-rapat tentang perasaan itu.
Bagi Andre, Tassia adalah
malaikat yang memberikan warna-warna dalam hidupnya. Bagi Andre, tamparan
Tassia membuat dirinya tersadar. Sadar dengan kehadiran cinta dalam pandangan
pertama. Tassia, seorang malaikat tanpa sayap.
***
Tepukkan di bahu menyadarkan aku
dari lamunanku tentang masa lalu. Masa lalu itu memang indah, rasanya ingin
untuk kembali dan mengulang semua kejadian yang lalu. Tapi, sayangnya semua
sudah berlalu dan takkan pernah kembali seperti dulu.
Seperti kertas putih yang
terkena coretan kecil, coretan itu takkan pernah bisa hilang pada kertas itu.
bila memaksa untuk menghilangkan coretan itu, akan lahir robekkan lecek pada
kertas itu. umtuk memulai yang baru, diperlukan kertas putih yang baru lagi,
bukan kertas putih yang lama.
Laki-laki yang bernama Andre itu
adalah aku. Aku yang hingga saat ini hanya mencintai Annastassia Maria di dalam
gelapku. Aku yang begitu bodoh membiarkan dirinya pergi begitu saja bersama
orang lain, dan bodohnya lagi yang membuat aku menyesal kalimat terakhirnya
saat pertemuan terakhir kami.
“Sebenarnya, aku bahagia bersama
dengan kamu. Jujur, aku nyaman sama kamu, Ndre. Hingga akhirnya, aku jatuh
cinta kepadamu. Tapi, aku lelah untuk menantikan dirimu, Ndre. Kamu tidak peka
terhadap kode yang aku berikan dan aku lelah harus menunggu terlalu lama.” Kata
Tassia berat, matanya berusaha untuk menahan air matanya.
Aku mendekapnya dengan erat
untuk terakhir kalinya. Dibawah sinar rembulan yang lembut dengan
bintang-bintang yang berkelap-kelip, aku mengecup keningnya.
“Maaf. Aku hanya ingin melihat
kamu bahagia dan aku akan bahagia bila aku melihat kamu dengan dia akan
bahagia. Pergilah, lupakan aku, Tas. Aku pun –Mencintaimu.”
Air di rumahku semakin lama
semakin meninggi, dan Mama menyadarkan aku untuk menaikkan kursi yang aku
duduki dan pindah ke lantai atas untuk menghindari banjir.
Seperti halnya banjir yang dapat
datang dan pergi, ketika ia datang kita akan bersusah untuk menyelamatkan
barang-barang kita dan ketika banjir itu telah pergi atau surut, kita akan
bersusah untuk mengepel lantai dari lumpur dan mengembalikan kembali
barang-barang yang kita selamatkan.
Mungkin. Cinta pun demikian,
ketika cinta itu datang kita akan bersusah payah untuk melakukan pengorbanan,
mulai dari berkenalan, pendekatan, sampai mengumpulkan keberanian dalam
mengucapkan kalimat sesederhana aku cinta
kamu, menjaga cinta itu dalam kesetiaan, bahkan mengarungi hidup bersama
dengan orang yang kita cintai. Lalu ketika cinta itu pergi, kita pun tetap
bersusah payah untuk, membersihkan setiap kenangan-kenangan yang manis atau
pahit bersama dengannya. Kita memerlukan pengorbanan untuk sesuatu yang kita
cintai, kalau kata teman saya, cinta didapat ketika pengorbanan itu sesuai
dengan kemampuannya.
No comments:
Post a Comment