Wednesday, February 5, 2014

Ini Untuk Kamu. Cinta Banjir.




Malam ini hujan kembali membasahi kota, tidak pelan ia terjatuh, tetapi begitu liar dan ribut setiap buliran air yang jatuh. Aku memang menyukai suasana hujan, tetapi aku terlalu bosan bahkan benci dengan hujan di bulan Januari atau Februari. Untukku, hujan di bulan Desember merupakan yang terindah, bukan karena sebuah lagu tetapi karena sebuah cinta yang tanpa memerlukan alasan.
Secangkir kopi hangat aku sesap guna mengurangi rasa kantukku. Kafein yang terkandung di dalam kopi selalu dikatakan oleh orang-orang dapat membuat mata ini tetap melek, tetapi untukku, itu tidaklah terlalu berguna cukup banyak, aku tetap merasakan kantuk yang berat dan tidak memerlukan waktu untuk terlelap meski sudah menyesap kopi yang selalu kental dan pahit bila aku yang membuatnya.
Air dalam gorong-gorong sudah mulai kembali penuh, padahal hujan baru sebentar turunnya. Dan tidak memerlukan waktu yang lama pula untuk meluber tumpah menutupi jalan depan rumahku, baru semata kaki.
Aku kembali menjatuhkan mataku ke lembaran kertas pada malam tanpa bintang, malam yang ditemani dengan hujan yang deras diikuti dengan rentetan petir yang saling menyambar. Ah, temanku satu lagi ialah ras was-was akan air yang semakin naik akan masuk ke dalam rumahku.
Rumahku masih seperti pertama kali kami menempati rumah ini, tidak seperti rumah-rumah tetanggaku yang sudah mengalami renovasi dan meninggikan rumah mereka guna mencegar banjir masuk ke dalam rumah.
Kopi, hujan, novel, dan kecemasan akan air yang semakin meninggi. Aku tidak menyukai hujan di dua bulan pembuka tahun ini. Bila hujan datang, terbitlah banjir bersama dengan kemacetan jalanan ibukota. Tidak, tidak hanya bila hujan tetapi jalanan ibukota memang selalu membawa cerita kemacetan setiap harinya, tapi kali ini berbeda. Banjir menghadirkan cerita tersendiri.
                Rasa kantuk yang belom hilang setelah terkena kafein pun membuat mataku begitu cepat lelah membaca, aku menyenderkan badanku di kursi dan tetap memaksakan diri untuk membaca, setidaknya aku akan dapat satu atua dua lembar sebelum sepenuhnya aku tertidur di ruang ini.
                Kakiku mulai merasakan dingin dan basah, air yang masuk dari sela-sela pintu mulai dengan cepat masuk mengisi setiap tempat di rumahku. Baik itu dari depan atau dari belakang, semuanya secara tiba-tiba sudah memenuhi rumahku. Seperi cinta yang tak dapat kita ketahui kapan ia akan menyergap kita masuk ke dalamnya, tiba-tiba seluruh relung hati ini sudah penuh dengan cinta dan otak dipenuhi bayangan orang itu. Berputar dan terus berputar.
                Kali ini aku tak dapat melakukan apa-apa, hanya duduk dengan tenang di kursiku dan mengangkat kakiku dari banjir yang sudah masuk ke dalam rumah. Beruntungnya, barang-barang yang sudah naik belum diturunkan semuanya setelah banjir pertama kali masuk ke dalam rumah pada jumat malam yang lalu.
                Di saat-saat seperti ini, ingatanku kembali pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat pertama kali aku percaya bila malaikat itu bukanlah hasil karya imajinasi manusia, tetapi malaikat itu benar-benar ada. Malaikat itu begitu indah, hangat, dan teduh. sayangnya, kali ini malaikat itu datang tanpa membawa selendang. Bila ia membawa selendang, aku akan mengambil selendang itu agar malaikat itu akan selalu berada di bumi dan bersama denganku. Ah, tidak mungkin di jaman seperti ini malaikat datang dengan membawa selendang, apa yang mereka lakukan disini dengan membawa selendang itu?
***
                Hujan di Jumat itu sangat awet membasahi Jakarta. Anak-anak kelas tiga yang masuk pagi masih betah berada di sekolah, mereka laki-laki yang beragama muslim mulai berjalan ke Masjid yang berada di ujung dari koridor, sedangkan yang perempuan atau yang beragama non-muslim berada di kelas menantikan hujan reda.
                Seorang laki-laki masih bermalas-malasan di dalam kelas, sweater hitam miliknya digunakannya sebagai penutup kepala dan tas yang diisi dengan beberapa buku dijadikan sebagai alas untuk kepalanya.
                Laki-laki itu yang sedari tadi berusaha dengan keras untuk memejamkan matanya untuk mendapatkan waktu istirahat setidaknya satu atau setengah jam sudah cukup baginya. Tetapi, tidak dapat. Matanya seakan melawan kehendak dari otak yang meminta untuk merem, apa daya ia terpaksa untuk tetap melek.
                Jam digital yang berada di tangan kirinya berkali-kali ia perhatikan, tetapi setiap kali ia memperhatikan jam tangannya tersebut. Angka-angka yang berada di menit tidak pernah berubah jauh. Waktu seakan bergerak lambat bagi laki-laki itu.
                Kemudian, ia menegakkan badannya lalu merapikan rambutnya yang berantakan dan memakai kembali sweater hitamnya. Laki-laki itu berjalan dengan tenang dan membuka pintu kelas, baru selangkah ia keluar dari dalam kelas. Seorang perempuan menabrak dirinya yang membuat es susu cokelat tumpah membasahi sweater laki-laki tersebut.
                Sorry, Sorry, gue bener-bener engga sengaja, dan gue engga lihat kalau ada lo.” Ucap perempuan itu dengan raut wajah yang kebingungan.
                Laki-laki itu diam dan memperhatikan perempuan itu dengan seksama. Rambutnya yang panjang, memiliki badan yang tidak dapat dikatakan kurus tetapi juga tidak gemuk, dengan kulit eksotisnya, dan mata laki-laki itu sekarang tertuju pada dadanya yang terdapat nama dari perempuan itu siapa.
                “Iya udah, gapapa kok. Gue juga salah kok, Annastassia Maria.” Jawab laki-laki itu dingin dan terbata-bata mengeja nama dari perempuan tersebut.
                Annastassia Maria. Nama yang ribet dan aneh. Batin laki-laki tersebut.
                Keheningan hadir di antara mereka berdua, tatapan mereka tidak pernah bertemu tetapi saling berusaha untuk mencuri kesempatan untuk melihat lawan bicara mereka. Sunyi dan sepi ada di antara mereka, tetapi mereka. Tidak ada satu pun yang bergerak atau pergi, masih tetap pada posisi mereka terjatuh. Tangan laki-laki itu tetap di pundak Tassia.
                Plaaak!
                Entah tanpa sebab yang jelas, Tassia menghempaskan telapak tangannya pada pipi laki-laki itu cukup keras dan cukup membuat merah tangannya. Laki-laki itu terdiam dengan memegangi pipinya yang mulai memerah, tapi cukup anehnya laki-laki itu tidak merubah ekspresinya, tetap dengan kedinginannya.
                Sorry,” lagi-lagi hanya kata itu yang diucapkan dan pergi begitu saja, tanpa memberikan penjelasan mengapa ia melakukan tamparan yang keras itu.
                Laki-laki itu tetap duduk di depan kelasnya sambil memandangi punggung Tassia yang perlahan mulai menjauh dan masuk ke dalam kelas yang diujung. Kali ini, laki-laki itu tersenyum ketika Tassia sudah masuk ke dalam kelas. Senyum sinis dengan tatapan mata yang tajam.
***
                Sudah hampir jam empat sore, hanya murid laki-laki itu masih duduk di dalam kantin dengan satu gelas es teh manis dan ia sibuk membaca komik dengan menempelkan earphone menyetel lagu-lagu yang membuatnya tenang.
                Laki-laki tersebut bukan tidak memiliki teman, tetapi ia terlalu bosan untuk ikut ke dalam kegiatan ekskulnya sehingga lebih memilih menyendiri di kantin.
                Suasana kantin saat itu tidak seperti biasanya, setelah hujan deras yang berhenti setengah jam yang lalu, murid-murid yang lain langsung memilih untuk meninggalkan sekolah bila masih ada murid yang di sekolah itu karena mereka memiliki kegiatan ekskulnya masing-masing.
                Tidak ada suara deritan sepatu atau teriakan dari anak-anak futsal. Tidak ada juga suara dari anak-anak paduan suara. Suasana sekolah sore itu tenggelam dalam keheningan yang tidak biasa.
                Berkali-kali laki-laki itu memperhatikan jam tangannya dan berkali-kali juga ia menguap. Entah apa yang sedang ia lakukan di sore yang tidak biasa ini. Mungkin, dia sedang menantikan seseorang? Atau dia hanya menyendiri dengan komiknya di sore ini?
                Tiba-tiba, laki-laki itu menutup komiknya dan menghela napasnya dalam-dalam. Dia datang. Ucapnya dalam hati.
                “Hoi, Tas!” sapa laki-laki itu kepada salah satu dari gerombolan murid perempuan yang masuk ke dalam kantin.
                Telinga Tassia cukup baik untuk dapat mendengar ada seseorang yang memanggilnya, dan matanya pun cukup baik dengan segera menemukan asal suara itu berada. Tassia mengacuhkan panggilan itu dan berjalan bersama dengan gerombolannya.
                Dalam hati perempuan ini, ia dilemma untuk memilih dan ia masih mengingat kejadian tadi siang ketika laki-laki yang tidak sengaja ditabraknya memperhatikan dadanya dengan mata yang memperhatikannya begitu dalam seakan tidak mau lepas dari apa yang sedang dipandangnya. Menurut Tassia, laki-laki itu tidak terlalu beda dengan laki-laki yang lain. Sama-sama memiliki mata yang mesum.
                “Annastassia!” teriak laki-laki tersebut ketika panggilan yang pertama tidak digubris oleh  Tassia yang sontak membuat seisi kantin yang untungnya tidak ramai langsung memperhatikan laki-laki tersebut.
                Tassia diam.
                Teriakkan kedua. Semakin keras.
                Tassia tetap berpura-pura tidak mendengar.
                Teriakkan ketiga. Terakhir. Pelan, namun terdapat penekanan ketegasan di dalamnya.
                Tassia berdiri dari bangku, “Ada apa lagi? Kan tadi gue udah minta maaf sama lo, dan itu masih kurang?”
                Laki-laki itu tidak bersuara. Senyuman yang ia tarik tipis dengan gerakkan tangan yang mengisyaratkan supaya Tassia datang menghampirinya.
                Perempuan itu menghela napasnya, jantungnya berdegup cepat. Egonya yang tinggi akhirnya rubuh oleh karena senyuman tipis laki-laki tersebut.
                “Gue Andre,” laki-laki itu memperkenalkan dirinya saat Tassia berada di depannya. “Terima kasih ya, untuk tamparannya tadi siang.” Lanjut laki-laki itu dengan tenang dan membuat kening Tassia berkerut.
                “Kenapa? ada yang salah?” tanya Andre ketika memperhatikan Tassia yang masih kebingungan.
                “Kan, gue nampar lo dan kenapa lo malah terima kasih? Apa ini kalimat sarkas untuk nyindir gue?”
                Andre menggeleng.
                “Terus?”
                Andre menghela napasnya lebih dalam, lalu tertawa kencang.
                “Mungkin, tadi lo salah sangka pas gue baca nama lo. Padahal gue cuman mau tahu nama lo doang dan engga seperti yang lo pikirkan.”
                Tassia menunduk, ia tak kuat menahan tengkuk lehernya dan malu bila Andre melihat yang terjadi dari perubahan wajahnya saat itu.
                “Dan, ini buat lo. Anggap aja sebagai permintaan maaf gue dan yang pentingnya, disitu ada nomor gue kok! Hahaha.” ucap Andre sambil memberikan satu batang cokelat kepada Tassia.
                Hati Tassia semakin tidak karuan. Jantungnya berdegup lebih kencang lagi dan darahnya berdesir sangat cepat.
                “Tapi...”
                “Engga usah pake tapi-tapian, gue ngasih ke lo iklas dan –“ kalimat terakhir tidak mampu untuk  diselesaikan oleh Andre. Bibirnya terlalu kaku untuk dapat bergerak dan kalimat terakhir itu hanya tertahan ditenggorokannya, takkan pernah mampu untuk diselesaikan.
                Semua orang benci dengan menanti dan lebih menyakitkan bila digantung. Apa lagi digantung dalam pembicaraan, itu sangat tidak sopan karena membuat orang yang telah mendengar menjadi penasaran dengan akhir dari kalimat tersebut.
                Kalimatnya sore itu menguap begitu saja, entah kemana. Andre yang memiliki keberanian kecil untuk mengucapkan kalimat itu, langsung pergi begitu saja meninggalkan Tassia. Pergi membiarkan Tassia bingung dan tak mengerti apa yang terjadi. Pergi membiarkan Tassia hanya berada di angannya untuk selamanya.
                Andre tidak pernah jujur dalam perasaannya. Andre menjadi seorang pecundang yang hanya berani mencintai dalam bayang semu. Andre, meski ia dekat dengan Tassia dikemudian hari tapi ia tetap menyimpan dan mengunci rapat-rapat tentang perasaan itu.
                Bagi Andre, Tassia adalah malaikat yang memberikan warna-warna dalam hidupnya. Bagi Andre, tamparan Tassia membuat dirinya tersadar. Sadar dengan kehadiran cinta dalam pandangan pertama. Tassia, seorang malaikat tanpa sayap.
***
                Tepukkan di bahu menyadarkan aku dari lamunanku tentang masa lalu. Masa lalu itu memang indah, rasanya ingin untuk kembali dan mengulang semua kejadian yang lalu. Tapi, sayangnya semua sudah berlalu dan takkan pernah kembali seperti dulu.
                Seperti kertas putih yang terkena coretan kecil, coretan itu takkan pernah bisa hilang pada kertas itu. bila memaksa untuk menghilangkan coretan itu, akan lahir robekkan lecek pada kertas itu. umtuk memulai yang baru, diperlukan kertas putih yang baru lagi, bukan kertas putih yang lama.
                Laki-laki yang bernama Andre itu adalah aku. Aku yang hingga saat ini hanya mencintai Annastassia Maria di dalam gelapku. Aku yang begitu bodoh membiarkan dirinya pergi begitu saja bersama orang lain, dan bodohnya lagi yang membuat aku menyesal kalimat terakhirnya saat pertemuan terakhir kami.
                “Sebenarnya, aku bahagia bersama dengan kamu. Jujur, aku nyaman sama kamu, Ndre. Hingga akhirnya, aku jatuh cinta kepadamu. Tapi, aku lelah untuk menantikan dirimu, Ndre. Kamu tidak peka terhadap kode yang aku berikan dan aku lelah harus menunggu terlalu lama.” Kata Tassia berat, matanya berusaha untuk menahan air matanya.
                Aku mendekapnya dengan erat untuk terakhir kalinya. Dibawah sinar rembulan yang lembut dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip, aku mengecup keningnya.
                “Maaf. Aku hanya ingin melihat kamu bahagia dan aku akan bahagia bila aku melihat kamu dengan dia akan bahagia. Pergilah, lupakan aku, Tas. Aku pun –Mencintaimu.”
                Air di rumahku semakin lama semakin meninggi, dan Mama menyadarkan aku untuk menaikkan kursi yang aku duduki dan pindah ke lantai atas untuk menghindari banjir.
                Seperti halnya banjir yang dapat datang dan pergi, ketika ia datang kita akan bersusah untuk menyelamatkan barang-barang kita dan ketika banjir itu telah pergi atau surut, kita akan bersusah untuk mengepel lantai dari lumpur dan mengembalikan kembali barang-barang yang kita selamatkan.
                Mungkin. Cinta pun demikian, ketika cinta itu datang kita akan bersusah payah untuk melakukan pengorbanan, mulai dari berkenalan, pendekatan, sampai mengumpulkan keberanian dalam mengucapkan kalimat sesederhana aku cinta kamu, menjaga cinta itu dalam kesetiaan, bahkan mengarungi hidup bersama dengan orang yang kita cintai. Lalu ketika cinta itu pergi, kita pun tetap bersusah payah untuk, membersihkan setiap kenangan-kenangan yang manis atau pahit bersama dengannya. Kita memerlukan pengorbanan untuk sesuatu yang kita cintai, kalau kata teman saya, cinta didapat ketika pengorbanan itu sesuai dengan kemampuannya.

No comments:

Post a Comment