Siapa yang tak
membutuhkan rumah? Tempat dimana kita bisa bertumbuh dan berkembang, dan di
rumah juga kita mendapatkan rasa nyaman dan kasih sayang. Tetapi terkadang,
banyak yang memilih untuk meninggalkan rumah dan membencinya. Entah lah, yang
pasti akan banyak alasan-alasan yang membuat mereka lebih betah di luar rumah
dengan berusaha pergi dari rumahnya.
Kini, aku belajar
yang namanya rumah. Bukan hanya sekedar bangunan fisik belaka yang memiliki
pintu, jendela, kamar-kamar, atau segala barang yang melengkapi setiap
ruangnya. Rumah itu pun bukan dilihat dari besar atau kecilnya. Rumah itu
mengenai kenyamanan. Segala barang yang di dalam rumah itu bukankah untuk
kenyamanan sang pemilik bangunan tersebut?
Rumah pun tidak
dibangun secara asal-asalan, memerlukan fondasi yang kuat dan bahan bangunan
yang bagus dalam membangunnya agar dapat kokoh.
Lalu, pelajaran yang
aku dapati tentang rumah yang bukan dari buku atau kelas yang dibatasi oleh
sekat-sekat, tetapi aku belajar arti rumah dari teman-teman seangkatanku di
kuliah. Mereka yang mengajarkan aku tentang arti rumah yang bukan hanya
bangunan untuk ditempati, tetapi mereka mengajarkan aku bahwa rumah itu ialah
tentang persahabatan kami. Terdengar aneh dan absurd.
“Ayo, ke rumah!”
Menjelang berakhirnya
semester kemarin yang baru saja usai dan juga menjelang keriwehan segala
organisasi ekstra di kampus, kami berusaha untuk mencari tempat yang enak untuk
mengobrol atau bermain yang dapat bebas merdeka dari kepentingan politik kampus.
Pertama kosan temanku yang berasal dari Padang ini dijadikan tempat singgah
sementara sampai mendapatkan kontrakan yang menjadi wacana kami dari awal
semester namun belum dapat terpenuhi hingga sekarang.
Kosan itu seperti
menjadi homebase angkatan kami. Dan,
tiada hari tanpa kami lupa untuk singgah ke kosan tersebut. Tawa, canda,
mengkorek-korek tentang hubungan orang, nonton film, makan, dan juga menjadi
biro jodoh pun kami lakukan di dalam kosan ini. tunggu, menjadi biro jodoh? Iya
setidaknya sudah ada satu pasangan yang tercipta di kosan, dan mungkin akan ada
satu pasangan lagi yang akan menyusul, bila si cowok berani untuk melakukan
pendekatan terhadap salah satu cewek yang sering bermain bersama kami, meski
cewek ini beda jurusan dengan kami.
Rumah dalam bentuk
fisik adalah kosan temanku ini. perlahan, kami merasakan kenyamanan kami di
kosan ini. tidak, tidak, tidak hanya nyaman di dalam bermain di kosan yang
telah kami anggap rumah ini. tetapi, persahabatan kami pun semakin dekat dan
kami merasa seperti satu keluarga. Meski kami kecil dalam ukuran jumlah yang
dapat dikatakan orang lain merupakan kelemahan kami, tetapi kami memakai
kelemahan itu menjadi kelebihan kami. Jumlah kami memang tidak sampai lima
belas orang tetapi kami semua berusaha untuk saling mendekatkan diri dan
membantu satu dengan yang lain.
Bahkan, ketika sang
pemilik kosan itu sedang sakit –entah sakit apa. Sakitnya tidak aku mengerti,
bukan hanya aku tetapi teman-teman yang lain pun tidak mengerti meski sudah
membaca surat dokternya.
***
Hari Senin ketika
banjir masih mengancam ibukota dan hujan masih dengan berani terus menitikkan
bulir-bulirnya jatuh di tanah yang masih basah. Aku masih ingat, pagi itu aku
BBM temanku ini menanyakan apakah dia masuk dalam kelas pertama kami hari Senin
jam sepuluh, dia hanya mengatakan bahwa di kosannya begitu dingin hingga
menusuk tulang. Aku kira dia sedang bercanda atau penyakit engga jelasnya
kambuh, di tambah siangnya dia kembali mengirimkan aku pesan untuk nitip
dibelikan obat Bayern. Pesan itu hanya
aku baca saja, karena saat itu aku sedang berada di jalan menuju kosannya.
Ketika aku sampai di
kosannya, teman-temanku yang lain ternyata sudah pada sampai duluan di kosan.
Seperti biasa juga, mereka ngampar di ruang tengah bercanda sambil menonton televisi.
Saat aku melangkah dari pintu samping, tepat di kamar pertama setelah pintu itu
aku melihat temanku yang nge-kos disini sedang beristirahat dengan memakai
pakaian seperti penyihir.
“Mas, itu orang sakit
beneran? Gue kira tadi pagi cuma bercanda.” Ucapku sambil berdiri di depan
pintu memperhatikan temanku yang lain sedang menaruh kompres di dahi untuk
menurunkan panasnya.
Temanku yang aku
tanya itu pun menjawab iya dengan
raut wajah yang khawatir.
Sorenya, kami harus
masuk ke kelas kembali, tapi kami tidak tega meninggalkan teman kami yang
sedang sakit ini di kosan sendiri. Kami bimbang. Kami ragu. Tapi akhirnya, kami
memilihi untuk meninggalkan dirinya untuk masuk ke kelas. Meninggalkan dirinya
sendiri bukan karena tega atau tidak perduli dengan keadaannya, tetapi kami
harus masuk ke kelas karena ada tugas yang perlu kami kumpulkan hari itu juga.
Beruntungnya, dosen tidak bisa berlama-lama di kelas karena harus rapat lagi
dan kelas pun berakhir lebih cepat, yang bagusnya lagi kami bisa sesegera mungkin
kembali ke kosan.
Ketika kami kembali
ke kosan, ternyata keadaan temanku semakin parah dan lemas. Dengan cepat kami
langsung membawa dirinya ke rumah sakit terdekat, awalnya dia engga mau untuk
ke rumah sakit padahal sejak tadi siang dia mengatakan kalau dia sakit malaria.
Entah lah dia dapat mengatakan sakit itu darimana. Bukan, dia bukan sakit
malaria untungnya, aku dapat mengatakan itu bukan karena aku dapat membaca
surat dokternya, tetapi dari salah satu obat yang diberikan untuk lambung. Iya,
dia sering terlambat makan.
***
Rumah kami pun bukan
hanya tentang bangunan fisik yang saat itu kosan, tetapi rumah kami bisa lebih
absurd dan sulit untuk dirasakan oleh panca indera dan tidak dibatasi oleh
sekat-sekat ruangan. Rumah kami adalah kami.
Enam bulan ini kami
membangun rumah kami bersama. Rumah itu kami bangun lewat canda tawa kami,
menumbuhkan kepercayaan di antara kami, membangkitkan semangat kami yang mulai
luntur, terutama lagi salah satu fondasi yang kami mendasari rumah itu ialah
belajar dan berkembang.
Mungkin, nilai-nilai
kami di dalam perkuliahan masih belum dikatakan begitu luar biasa, tetapi
beruntungnya nilai kami hampir menembus angka tiga bila satu nilai lagi keluar
yang membuat kami merasakan nilai semester ini menembus tiga.
Iya, kami belajar
tentang kepercayaan, kesetiakawanan yang tidak didasari sesuatu harapan yang
dapat kita peroleh dari pertemanan ini. kami belajar tentang hidup dan bahagia.
Bahagia ketika sedang bersama. Bahagia ketika jalan-jalan tidak jelas
juntrungannya. Bahagia ketika sedang wisata kuliner. Bahagia ketika memasak
bersama. Bahagia itu memang sederhana, sesederhana melihat teman-teman yang
disekitar kita dapat merasakan kebahagiaan yang kita rasakan.
Meski semester depan
kami belum tentu mendapatkan rumah dalam bentuk fisik karena kosan temanku ini
akan ditempati oleh orang baru yang tidak suka kumpul-kumpul, tetapi rumah kami
akan tetap ada.
Sejauh kami
melangkah, mungkin kami akan merindukan rumah itu lagi. Selama libur memisahkan
waktu kami, rencana untuk bermain bersama atau melakukan satu kegiatan yang
pernah aku cetuskan untuk berpiknik santai tanpa batas di Taman Mini.
Iya, rumah yang
membuat kita merindu. Dan, sejauh kita melangkah akan ada di satu titik untuk
kembali pulang ke rumah. Rindu akan kehangatan yang rumah berikan kepada kita,
meski terkadang rumah itu begitu dingin dan kaku, tetapi bila kita mencapai
titik itu, apakah kita sama akan merindukan untuk pulang ke rumah yang dingin
dan kaku itu?
Bukan soal kecil atau
besar, atau seberapa mewah rumah itu. tetapi, rumah pun memberikan kehangatan
yang didasari oleh cinta kasih. Rumah lah yang memberikan kita
pelajaran-pelajaran tentang kehidupan sebelum kita memulai pelajaran di dalam
kelas. Karena suatu ketika kita rindu untuk mendirikan satu rumah bersama dengan
seseorang yang kita kasihi.
Rumah yang akan
memberikan kita kebahagiaan. Rumah yang dibangun atas dari kasih. Rumah yang di
dasarnya terdapat kepercayaan. Terlalu banyak arti rumah selain bangunan tempat
kita tinggal yang menjadi kebutuhan kita dan juga melindungi kita dari teriknya
matahari atau pun beristirahat.
Rumah, rumah, dan
rumah. ‘Maukah kamu membangun rumah
bersamaku kelak di masa depan kita?’ hahaha.
Di akhirnya, aku
ingin mengucapkan terima kasih kepada anak-anak sosiologi yang koplak dan entah
otak mereka berada. Terima kasih untuk rumah yang kalian, kita, kami bangun
bersama.
No comments:
Post a Comment