Wednesday, February 5, 2014

Rumah. Kita Membutuhkannya.




Siapa yang tak membutuhkan rumah? Tempat dimana kita bisa bertumbuh dan berkembang, dan di rumah juga kita mendapatkan rasa nyaman dan kasih sayang. Tetapi terkadang, banyak yang memilih untuk meninggalkan rumah dan membencinya. Entah lah, yang pasti akan banyak alasan-alasan yang membuat mereka lebih betah di luar rumah dengan berusaha pergi dari rumahnya.
Kini, aku belajar yang namanya rumah. Bukan hanya sekedar bangunan fisik belaka yang memiliki pintu, jendela, kamar-kamar, atau segala barang yang melengkapi setiap ruangnya. Rumah itu pun bukan dilihat dari besar atau kecilnya. Rumah itu mengenai kenyamanan. Segala barang yang di dalam rumah itu bukankah untuk kenyamanan sang pemilik bangunan tersebut?
Rumah pun tidak dibangun secara asal-asalan, memerlukan fondasi yang kuat dan bahan bangunan yang bagus dalam membangunnya agar dapat kokoh.
Lalu, pelajaran yang aku dapati tentang rumah yang bukan dari buku atau kelas yang dibatasi oleh sekat-sekat, tetapi aku belajar arti rumah dari teman-teman seangkatanku di kuliah. Mereka yang mengajarkan aku tentang arti rumah yang bukan hanya bangunan untuk ditempati, tetapi mereka mengajarkan aku bahwa rumah itu ialah tentang persahabatan kami. Terdengar aneh dan absurd.
“Ayo, ke rumah!”
Menjelang berakhirnya semester kemarin yang baru saja usai dan juga menjelang keriwehan segala organisasi ekstra di kampus, kami berusaha untuk mencari tempat yang enak untuk mengobrol atau bermain yang dapat bebas merdeka dari kepentingan politik kampus. Pertama kosan temanku yang berasal dari Padang ini dijadikan tempat singgah sementara sampai mendapatkan kontrakan yang menjadi wacana kami dari awal semester namun belum dapat terpenuhi hingga sekarang.
Kosan itu seperti menjadi homebase angkatan kami. Dan, tiada hari tanpa kami lupa untuk singgah ke kosan tersebut. Tawa, canda, mengkorek-korek tentang hubungan orang, nonton film, makan, dan juga menjadi biro jodoh pun kami lakukan di dalam kosan ini. tunggu, menjadi biro jodoh? Iya setidaknya sudah ada satu pasangan yang tercipta di kosan, dan mungkin akan ada satu pasangan lagi yang akan menyusul, bila si cowok berani untuk melakukan pendekatan terhadap salah satu cewek yang sering bermain bersama kami, meski cewek ini beda jurusan dengan kami.
Rumah dalam bentuk fisik adalah kosan temanku ini. perlahan, kami merasakan kenyamanan kami di kosan ini. tidak, tidak, tidak hanya nyaman di dalam bermain di kosan yang telah kami anggap rumah ini. tetapi, persahabatan kami pun semakin dekat dan kami merasa seperti satu keluarga. Meski kami kecil dalam ukuran jumlah yang dapat dikatakan orang lain merupakan kelemahan kami, tetapi kami memakai kelemahan itu menjadi kelebihan kami. Jumlah kami memang tidak sampai lima belas orang tetapi kami semua berusaha untuk saling mendekatkan diri dan membantu satu dengan yang lain.
Bahkan, ketika sang pemilik kosan itu sedang sakit –entah sakit apa. Sakitnya tidak aku mengerti, bukan hanya aku tetapi teman-teman yang lain pun tidak mengerti meski sudah membaca surat dokternya.
***
Hari Senin ketika banjir masih mengancam ibukota dan hujan masih dengan berani terus menitikkan bulir-bulirnya jatuh di tanah yang masih basah. Aku masih ingat, pagi itu aku BBM temanku ini menanyakan apakah dia masuk dalam kelas pertama kami hari Senin jam sepuluh, dia hanya mengatakan bahwa di kosannya begitu dingin hingga menusuk tulang. Aku kira dia sedang bercanda atau penyakit engga jelasnya kambuh, di tambah siangnya dia kembali mengirimkan aku pesan untuk nitip dibelikan obat Bayern. Pesan itu hanya aku baca saja, karena saat itu aku sedang berada di jalan menuju kosannya.
Ketika aku sampai di kosannya, teman-temanku yang lain ternyata sudah pada sampai duluan di kosan. Seperti biasa juga, mereka ngampar di ruang tengah bercanda sambil menonton televisi. Saat aku melangkah dari pintu samping, tepat di kamar pertama setelah pintu itu aku melihat temanku yang nge-kos disini sedang beristirahat dengan memakai pakaian seperti penyihir.
“Mas, itu orang sakit beneran? Gue kira tadi pagi cuma bercanda.” Ucapku sambil berdiri di depan pintu memperhatikan temanku yang lain sedang menaruh kompres di dahi untuk menurunkan panasnya.
Temanku yang aku tanya itu pun menjawab iya dengan raut wajah yang khawatir.
Sorenya, kami harus masuk ke kelas kembali, tapi kami tidak tega meninggalkan teman kami yang sedang sakit ini di kosan sendiri. Kami bimbang. Kami ragu. Tapi akhirnya, kami memilihi untuk meninggalkan dirinya untuk masuk ke kelas. Meninggalkan dirinya sendiri bukan karena tega atau tidak perduli dengan keadaannya, tetapi kami harus masuk ke kelas karena ada tugas yang perlu kami kumpulkan hari itu juga. Beruntungnya, dosen tidak bisa berlama-lama di kelas karena harus rapat lagi dan kelas pun berakhir lebih cepat, yang bagusnya lagi kami bisa sesegera mungkin kembali ke kosan.
Ketika kami kembali ke kosan, ternyata keadaan temanku semakin parah dan lemas. Dengan cepat kami langsung membawa dirinya ke rumah sakit terdekat, awalnya dia engga mau untuk ke rumah sakit padahal sejak tadi siang dia mengatakan kalau dia sakit malaria. Entah lah dia dapat mengatakan sakit itu darimana. Bukan, dia bukan sakit malaria untungnya, aku dapat mengatakan itu bukan karena aku dapat membaca surat dokternya, tetapi dari salah satu obat yang diberikan untuk lambung. Iya, dia sering terlambat makan.
***
Rumah kami pun bukan hanya tentang bangunan fisik yang saat itu kosan, tetapi rumah kami bisa lebih absurd dan sulit untuk dirasakan oleh panca indera dan tidak dibatasi oleh sekat-sekat ruangan. Rumah kami adalah kami.
Enam bulan ini kami membangun rumah kami bersama. Rumah itu kami bangun lewat canda tawa kami, menumbuhkan kepercayaan di antara kami, membangkitkan semangat kami yang mulai luntur, terutama lagi salah satu fondasi yang kami mendasari rumah itu ialah belajar dan berkembang.
Mungkin, nilai-nilai kami di dalam perkuliahan masih belum dikatakan begitu luar biasa, tetapi beruntungnya nilai kami hampir menembus angka tiga bila satu nilai lagi keluar yang membuat kami merasakan nilai semester ini menembus tiga.
Iya, kami belajar tentang kepercayaan, kesetiakawanan yang tidak didasari sesuatu harapan yang dapat kita peroleh dari pertemanan ini. kami belajar tentang hidup dan bahagia. Bahagia ketika sedang bersama. Bahagia ketika jalan-jalan tidak jelas juntrungannya. Bahagia ketika sedang wisata kuliner. Bahagia ketika memasak bersama. Bahagia itu memang sederhana, sesederhana melihat teman-teman yang disekitar kita dapat merasakan kebahagiaan yang kita rasakan.
Meski semester depan kami belum tentu mendapatkan rumah dalam bentuk fisik karena kosan temanku ini akan ditempati oleh orang baru yang tidak suka kumpul-kumpul, tetapi rumah kami akan tetap ada.
Sejauh kami melangkah, mungkin kami akan merindukan rumah itu lagi. Selama libur memisahkan waktu kami, rencana untuk bermain bersama atau melakukan satu kegiatan yang pernah aku cetuskan untuk berpiknik santai tanpa batas di Taman Mini.
Iya, rumah yang membuat kita merindu. Dan, sejauh kita melangkah akan ada di satu titik untuk kembali pulang ke rumah. Rindu akan kehangatan yang rumah berikan kepada kita, meski terkadang rumah itu begitu dingin dan kaku, tetapi bila kita mencapai titik itu, apakah kita sama akan merindukan untuk pulang ke rumah yang dingin dan kaku itu?
Bukan soal kecil atau besar, atau seberapa mewah rumah itu. tetapi, rumah pun memberikan kehangatan yang didasari oleh cinta kasih. Rumah lah yang memberikan kita pelajaran-pelajaran tentang kehidupan sebelum kita memulai pelajaran di dalam kelas. Karena suatu ketika kita rindu untuk mendirikan satu rumah bersama dengan seseorang yang kita kasihi.
Rumah yang akan memberikan kita kebahagiaan. Rumah yang dibangun atas dari kasih. Rumah yang di dasarnya terdapat kepercayaan. Terlalu banyak arti rumah selain bangunan tempat kita tinggal yang menjadi kebutuhan kita dan juga melindungi kita dari teriknya matahari atau pun beristirahat.
Rumah, rumah, dan rumah. ‘Maukah kamu membangun rumah bersamaku kelak di masa depan kita?’ hahaha.
Di akhirnya, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada anak-anak sosiologi yang koplak dan entah otak mereka berada. Terima kasih untuk rumah yang kalian, kita, kami bangun bersama.

No comments:

Post a Comment