“Aww...”
Rintih
Ronald ketika mencoba untuk duduk di atas kasur. Tidak jauh dari tempatnya
berada seorang perempuan yang dari tadi menemani Ronald yang pingsan duduk
memperhatikan cowok itu berusaha untuk duduk.
“Udah
sadar? Pelan-pelan.” Ucap perempuan itu dengan santai dari tempat duduknya,
lalu perempuan itu kembali tenggelam dalam novel yang sedang ia baca.
Raut
wajah Ronald kebingungan, pandangannya yang masih samar-samar membuat dirinya
semakin bingung. Terlebih lagi suara perempuan itu, ia begitu mengenal pemilik
suara itu. Rasanya begitu sulit ia percaya sekarang ia berada berdekatan dengan
perempuan itu.
Rasanya
ia hendak bertanya kenapa gue ada disini?
Kenapa Aksa yang menemani gue? tapi segala pertanyaan itu tidak ada satupun
yang berhasil ia ucapkan, hanya tertahan di tenggorokannya. Seperti biasa.
Aksara
Dewinta. Anak 11 A 2. Rambut pendek sebahu yang bebas tergerai dengan warna
hitam dan kacamata yang membingkai matanya membuat kesan dia kutu buku semakin
pas. Perempuan yang menurut Ronald Siagian di sekolahnya paling manis dan unik,
meski banyak teman-temannya yang tidak sependapat dengannya karena Aksa begitu
dingin dan, kutu buku.
Keheningan
mulai mengisi seantero ruangan UKS. Ruangan yang tidak terlalu besar ini
terlalu sesak bagi kesibukan mereka dan tak ada kalimat-kalimat yang mengalir
dari bibir mereka berdua di dalam ruangan. Ronald yang sibuk memperhatikan
tangannya yang lecet, sedangkan Aksa sibuk dengan novelnya. Mereka hanya
menyibukkan diri, mereka takluk pada ego mereka tentang siapa yang membuka
pembicaraan terlebih dahulu. Seperti biasa.
“Tadi
lo jatuh pas lagi latihan, dan lo pun pingsan,” Ucap Aksa seakan mengetahui apa
yang berada di dalam pikiran Ronald saat itu.
Mendengar
kalimat yang diucapkan oleh Aksa membuat Ronald mencoba mengingat kejadian itu,
tetapi sayangnya ia tidak banyak mengingat kejadiannya. Itu tidak terlalu
membantunya.
“Jatuh?
Pingsan? Kok bisa?” tanya Ronald agar memastikan yang ia dengar tidak salah.
Aksa
menutup novelnya dan membalikkan badannya menghadap Ronald, ditatapnya cowok
itu dengan menyipitkan matanya. Cukup lama Aksa menatap Ronald, hingga akhirnya
ia berdiri dari bangkunya.
“Entah
lah.”
Singkat.
Hanya jawaban sesingkat itu yang terucap untuk menjawab pertanyaan dari Ronald.
Lalu Aksa pergi keluar ruang UKS dengan diam, membiarkan Ronald ikut diam dan
semakin bingung dengan apa yang terjadi.
“Heeei!
Aksaaa!” teriak Ronald memanggil cewek itu, ia ingin jawaban yang lebih konkret
dan jelas kenapa dia ada di dalam ruang UKS bersama dengan cewek itu. hanya
itu, tidak ada yang lain.
Aksa
tidak menggubris teriakan Ronald yang memanggilnya dan terus melangkahkan
kakinya. Ronald hanya memandangi punggung cewek itu hingga akhirnya punggung
itu tergantikan oleh pintu. Rasa kesal dan jengkel pun menyelimuti Ronald
terhadap Aksa, namun dibalik rasa itu ada penasaran yang semakin membesar.
***
Jam istirahat ketika siswa yang
lain lebih banyak memilih untuk pergi ke kantin untuk mengisi perutnya atau
bercanda dengan teman-temannya yang lain, tetapi tidak untuk Ronald. Cowok
dengan rambut cepak, berbadan tegap, dan tampang yang mudah memikat para
perempuan malah memilih untuk pergi ke perpustakaan, tujuannya bukan untuk
membaca buku melainkan untuk mencari Aksa. Iya, Aksa.
Jarang-jarang Ronald melakukan
hal ini, biasanya setiap istirahat ia lebih memilih untuk bermain futsal di
lapangan sekolah atau mengerjakan PR yang belum ia selesai. Aksa, nama itu
terus mengiang di telinganya, kejadian sabtu lalu di UKS pun mengisi otaknya
beberapa hari belakangan, dan tidak hanya sampai disana tetapi yang paling ia
benci ialah senyum tipis perempuan itu dengan tatapan tajamnya selalu muncul
seakan menghantui dirinya.
Dari samping jendela cowok itu
mengintip ke dalam memastikan bila orang yang ia cari berada di dalam.
Langkahnya sengaja pelan agar membantu dirinya untuk melihat dengan seksama
setiap tempatnya. Kakinya berhenti sebentar setelah matanya mendapati sesuatu
dibalik rak buku, tanpa membuang waktu ia langsung berlari membuka pintu dengan
kasar dan bersembunyi di balik rak yang sama dengan perempuan itu.
Bibirnya terlalu kaku untuk
berucap, keberaniannya pun seperti biasa menguap begitu saja tidak jelas hilang
kemana. Ronald menarik satu buku secara asal dan berjalan ke arah meja yang
berada di tengah ruangan. Seperti biasa juga, perpustakaan selalu sepi dan
membosankan. Hanya ada tumpukan buku yang berjejer dan buku-buku itu lebih
banyak buku non-fiksi yang membuat tertidur saat membacanya.
“Aksara!” Ronald setengah
berteriak ketika keberaniannya terkumpul tapi sayangnya sorotan mata guru yang
sedang di dalam langsung menuju kepadanya.
Lagi-lagi Aksa terlalu dingin
menanggapinya, ia hanya menatap dengan tatapannya yang begitu tajam seakan
ingin menerkam orang yang memanggilnya lalu berlalu begitu saja.
Melihat dia diacuhkan oleh
perempuan, Ronald gregetan dan berlari ke arah Aksa yang sedang berjalan ke
arah pintu. Tangan perempuan yang mungil itu berhasil diraih sempat Aksa
melawan, namun sayangnya tenaga perempuan itu kalah jauh dibandingkan dengan
Ronald.
“Ini perpustakaan! Kalau kalian
berisik mending di luar!” bentak guru tersebut kepada mereka berdua. Pandangan
mata Aksa kembali menajam dan tangannya ia kepal kuat-kuat.
“Maaf, Pak.” kata Ronald
membungkukkan badannya, “Gue mau ngomong sama lo, Sa. Bentar aja.” Lanjutnya
memohon kepada Aksa, menatap perempuan itu dengan tatapan nanar.
“Pulang sekolah di kantin
selatan.” Jawab Aksa yang tak mengubah mimik kesalnya terhadap Ronald.
Untuk kesekian kalinya dengan
perempuan yang sama Ronald ditinggalkan dengan cara yang sama dan cowok itu tak
mampu untuk menahan perempuan itu. dalam hati cowok itu menahan getaran keras
di dalam dadanya, getaran yang membuat darahnya mengalir lebih cepat, getaran
yang berasal ketika memandang perempuan yang begitu dingin dan getaran itu
semakin kuat ketika tangannya mengenggam tangan perempuan itu.
Apa mungkin ini yang dinamakan
dengan cinta? Tapi Ronald begitu takut bila memang yang dirasakannya itu adalah
cinta. Ia takut untuk jatuh cinta, ia masih memiliki sebuah luka terhadap cinta
lamanya. Sampai sekarang ia masih belum dapat melupakan mantannya yang telah
meninggalkan dia dengan sebuah penghianatan di depan matanya.
Bukannya cinta itu terasa
berbeda kepada setiap orang? Bukannya setiap orang memiliki kisah yang berbeda?
Mengapa terkadang kisah yang lama itu sering terbawa ke lembaran baru, mengapa?
Ah, rasanya memang terlalu naif bila ingin melupakannya kisah-kisah yang lama
dan terlalu egois bila menjadikan kisah lama sebagai alasan untuk jatuh cinta,
bahkan lebih egois lagi bila membanding-bandingkan seseorang dari masa lalu
dengan masa sekarang.
***
Hampir setengah jam dari bel
pulang sekolah berbunyi tetapi Ronald belum juga muncul. Aksa hampir
menghabiskan satu gelas es teh yang ia pesan, ia selalu benci dengan kata
menunggu, menanti, atau apapun kata yang memiliki arti yang sama dengan kata
itu. baginya menunggu adalah hal yang paling membosankan dan dapat membunuhnya
dalam menanti, apalagi menanti dalam ketidakjelasan ia sangat membenci hal itu.
sangat membencinya.
Tepat di lembaran bab terakhir
dari novel yang ia baca, atau satu jam dari waktu yang dijanjikan seorang cowok
berlari ke arah kantin. Ketika sampai, cowok itu menunduk dengan napas yang
tersengal-sengal dengan keringat yang membanjiri wajahnya.
“Darimana aja?” tanya Aksa
kepada cowok yang masih membutuhkan waktu untuk bernapas.
Belum dijawab oleh cowok itu,
Aksa pun kembali memberikan pertanyaan, “Gue udah nunggu lo satu jam! Dasar
cowok!”
Ronald menarik tangan Aksa,
“Maaf.” Hanya kata itu yang mampu ia ucapkan.
Sebetulnya
ia tidak sepenuh bersalah, karena sebagai anak futsal ia harus kumpul terlebih
dahulu untuk membahas lomba berikutnya bersama pembina dan pelatih mereka,
bahkan sebenarnya pertemuan ini belum usai tapi Ronald pergi meninggalkan
pertemuan itu untuk bertemu dengan Aksa. Ia sudah berkorban, tetapi yang ia
dapatkan rasa kecewa Aksa kepada dirinya.
“Maaf?
Lo kira, Ron?”
“Dengerin
gue dulu, Aksa. Gue mohon dengerin penjelasan gue dulu,” matanya sayu dan
suaranya lemah seperti hatinya yang lemah ketika berhadapan dengan Aksa.
Ada
jeda waktu yang lumayan panjang setelah Aksa menganggukkan kepalanya, jeda itu
hanya diisi oleh kehampaan. Tanpa suara di antara mereka, bahkan detak jam
dinding di terdengar. Kebisuan mengelayuti Ronald, dia begitu gugup saat itu,
sangat gugup.
“Terus,
lo mau ngomong apa sama gue?” Aksa memecahkan keheningan di antara mereka,
menyadarkan Ronald lagi dari khayalannya.
Lidahnya
terasa begitu berat untuk bergerak, keberaniannya menciut ketika mata mereka
saling bertemu pada satu titik, kata-kata yang dirangkai sebelumnya berantakkan
tidak karuan.
“Hei!
Ronald Siagian!”
“Gue
cuman mau bilang –“
“Iya,
lo mau bilang apa? Lo mau ngasih alasan apa tentang telat lo yang buat gue
nunggu satu jam, Ron?” Aksa langsung memotong kalimat Ronald yang belum selesai
diucapkan. Ia benci untuk menunggu dan dibuat penasaran dengan kalimat yang
mengantung.
Aksa
terlanjur kesal dengan Ronald. Pertama, ia tidak mengucapkan terima kasih
kepada dirinya sabtu lalu. Kedua, ia membuat keributan di perpustakaan sehingga
Aksa mendapat omelan. Ketiga, ia dibiarkan menanti tanpa kejelasan selama satu
jam. Dan yang terakhir, alasan yang paling membuat dia kesal ialah, perasaan
dia terhadap Ronald. Diam-diam Aksa jatuh cinta terhadap Ronald, perempuan
sedingin Aksa pun dapat jatuh cinta.
Alasan
terakhir itu lah yang membuatnya dengan senang hati untuk menawarkan diri
menemani Ronald di UKS, dan alasan itu yang membuatnya bertahan menantikan
Ronald selama satu jam. Oleh karena alasan itu, ia berusaha untuk bersikap
dingin terhadap Ronald untuk menutupi segala perasaannya.
“Terima
kasih, ya, Aksara Dewinta.”
Akhirnya
kalimat itu terselesaikan oleh Ronald. Akhir kalimat yang menjadi anti-klimaks
bagi keduanya. Ronald tak sanggup untuk berterus terang dan kalimat itu yang
hanya berada di otaknya kini, sedangkan Aksa, diam dengan kekecewaan dengan
harapan yang pupus.
Setelah
kalimat itu, Aksa langsung meninggalkan Ronald seperti sebelum-sebelumnya.
tanpa banyak bicara dan pergi begitu saja. Aksa semakin kecewa terhadap Ronald.
Ia beranggapan bila cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak
pernah saling bertemu. Ia membenci hal ini, benci menyerah begitu saja.
Hanya
itu yang sanggup dilakukan Ronald, menikmati punggung Aksa yang perlahan menjauh
dengan senja yang menjadi latar pada warna langit.
Ronald
yang masih mematung, sesuatu yang lain di bola mata Aksa lah yang membuat dia
begitu gugup ketika tatapan mereka bertemu. Dari dalam bola mata itu lah yang
membuatnya tak dapat berkata jujur. Ia hanya dapat merutuki dirinya sendiri
saat membiarkan Aksa pergi begitu saja.
“Terima
kasih untuk hari sabtu yang lalu, dan sebenarnya gue jatuh cinta sama lo, Aksa!
Gue sayang sama lo.” ucapnya dalam hati saat punggung yang ia nikmati sudah
hilang. Kata-kata itu yang sebenarnya ingin ia ucapkan tetapi pelangi di dalam
bola mata Aksa yang begitu indah itu memaksanya untuk diam membisu.
Hanya
ada rasa sesal yang dirasakan Ronald. Rasa sesal itu selalu berada di akhir.
Iya, berada di akhir. Kalimat itu terus diulang-ulang oleh Ronald. Kemudian ia
tenggelam dalam sesal dan kecewa.
Terima
kasih Semesta karena menciptakan pelangi di dalam bola mata Aksa yang begitu
indah. Terima kasih, Semesta!
No comments:
Post a Comment