Wednesday, February 5, 2014

Pelangi di Matamu.



“Aww...”
Rintih Ronald ketika mencoba untuk duduk di atas kasur. Tidak jauh dari tempatnya berada seorang perempuan yang dari tadi menemani Ronald yang pingsan duduk memperhatikan cowok itu berusaha untuk duduk.
“Udah sadar? Pelan-pelan.” Ucap perempuan itu dengan santai dari tempat duduknya, lalu perempuan itu kembali tenggelam dalam novel yang sedang ia baca.
Raut wajah Ronald kebingungan, pandangannya yang masih samar-samar membuat dirinya semakin bingung. Terlebih lagi suara perempuan itu, ia begitu mengenal pemilik suara itu. Rasanya begitu sulit ia percaya sekarang ia berada berdekatan dengan perempuan itu.
Rasanya ia hendak bertanya kenapa gue ada disini? Kenapa Aksa yang menemani gue? tapi segala pertanyaan itu tidak ada satupun yang berhasil ia ucapkan, hanya tertahan di tenggorokannya. Seperti biasa.
Aksara Dewinta. Anak 11 A 2. Rambut pendek sebahu yang bebas tergerai dengan warna hitam dan kacamata yang membingkai matanya membuat kesan dia kutu buku semakin pas. Perempuan yang menurut Ronald Siagian di sekolahnya paling manis dan unik, meski banyak teman-temannya yang tidak sependapat dengannya karena Aksa begitu dingin dan, kutu buku.
Keheningan mulai mengisi seantero ruangan UKS. Ruangan yang tidak terlalu besar ini terlalu sesak bagi kesibukan mereka dan tak ada kalimat-kalimat yang mengalir dari bibir mereka berdua di dalam ruangan. Ronald yang sibuk memperhatikan tangannya yang lecet, sedangkan Aksa sibuk dengan novelnya. Mereka hanya menyibukkan diri, mereka takluk pada ego mereka tentang siapa yang membuka pembicaraan terlebih dahulu. Seperti biasa.
“Tadi lo jatuh pas lagi latihan, dan lo pun pingsan,” Ucap Aksa seakan mengetahui apa yang berada di dalam pikiran Ronald saat itu.
Mendengar kalimat yang diucapkan oleh Aksa membuat Ronald mencoba mengingat kejadian itu, tetapi sayangnya ia tidak banyak mengingat kejadiannya. Itu tidak terlalu membantunya.
“Jatuh? Pingsan? Kok bisa?” tanya Ronald agar memastikan yang ia dengar tidak salah.
Aksa menutup novelnya dan membalikkan badannya menghadap Ronald, ditatapnya cowok itu dengan menyipitkan matanya. Cukup lama Aksa menatap Ronald, hingga akhirnya ia berdiri dari bangkunya.
“Entah lah.”
Singkat. Hanya jawaban sesingkat itu yang terucap untuk menjawab pertanyaan dari Ronald. Lalu Aksa pergi keluar ruang UKS dengan diam, membiarkan Ronald ikut diam dan semakin bingung dengan apa yang terjadi.
“Heeei! Aksaaa!” teriak Ronald memanggil cewek itu, ia ingin jawaban yang lebih konkret dan jelas kenapa dia ada di dalam ruang UKS bersama dengan cewek itu. hanya itu, tidak ada yang lain.
Aksa tidak menggubris teriakan Ronald yang memanggilnya dan terus melangkahkan kakinya. Ronald hanya memandangi punggung cewek itu hingga akhirnya punggung itu tergantikan oleh pintu. Rasa kesal dan jengkel pun menyelimuti Ronald terhadap Aksa, namun dibalik rasa itu ada penasaran yang semakin membesar.

***
                Jam istirahat ketika siswa yang lain lebih banyak memilih untuk pergi ke kantin untuk mengisi perutnya atau bercanda dengan teman-temannya yang lain, tetapi tidak untuk Ronald. Cowok dengan rambut cepak, berbadan tegap, dan tampang yang mudah memikat para perempuan malah memilih untuk pergi ke perpustakaan, tujuannya bukan untuk membaca buku melainkan untuk mencari Aksa. Iya, Aksa.
                Jarang-jarang Ronald melakukan hal ini, biasanya setiap istirahat ia lebih memilih untuk bermain futsal di lapangan sekolah atau mengerjakan PR yang belum ia selesai. Aksa, nama itu terus mengiang di telinganya, kejadian sabtu lalu di UKS pun mengisi otaknya beberapa hari belakangan, dan tidak hanya sampai disana tetapi yang paling ia benci ialah senyum tipis perempuan itu dengan tatapan tajamnya selalu muncul seakan menghantui dirinya.
                Dari samping jendela cowok itu mengintip ke dalam memastikan bila orang yang ia cari berada di dalam. Langkahnya sengaja pelan agar membantu dirinya untuk melihat dengan seksama setiap tempatnya. Kakinya berhenti sebentar setelah matanya mendapati sesuatu dibalik rak buku, tanpa membuang waktu ia langsung berlari membuka pintu dengan kasar dan bersembunyi di balik rak yang sama dengan perempuan itu.
                Bibirnya terlalu kaku untuk berucap, keberaniannya pun seperti biasa menguap begitu saja tidak jelas hilang kemana. Ronald menarik satu buku secara asal dan berjalan ke arah meja yang berada di tengah ruangan. Seperti biasa juga, perpustakaan selalu sepi dan membosankan. Hanya ada tumpukan buku yang berjejer dan buku-buku itu lebih banyak buku non-fiksi yang membuat tertidur saat membacanya.
                “Aksara!” Ronald setengah berteriak ketika keberaniannya terkumpul tapi sayangnya sorotan mata guru yang sedang di dalam langsung menuju kepadanya.
                Lagi-lagi Aksa terlalu dingin menanggapinya, ia hanya menatap dengan tatapannya yang begitu tajam seakan ingin menerkam orang yang memanggilnya lalu berlalu begitu saja.
                Melihat dia diacuhkan oleh perempuan, Ronald gregetan dan berlari ke arah Aksa yang sedang berjalan ke arah pintu. Tangan perempuan yang mungil itu berhasil diraih sempat Aksa melawan, namun sayangnya tenaga perempuan itu kalah jauh dibandingkan dengan Ronald.
                “Ini perpustakaan! Kalau kalian berisik mending di luar!” bentak guru tersebut kepada mereka berdua. Pandangan mata Aksa kembali menajam dan tangannya ia kepal kuat-kuat.
                “Maaf, Pak.” kata Ronald membungkukkan badannya, “Gue mau ngomong sama lo, Sa. Bentar aja.” Lanjutnya memohon kepada Aksa, menatap perempuan itu dengan tatapan nanar.
                “Pulang sekolah di kantin selatan.” Jawab Aksa yang tak mengubah mimik kesalnya terhadap Ronald.
                Untuk kesekian kalinya dengan perempuan yang sama Ronald ditinggalkan dengan cara yang sama dan cowok itu tak mampu untuk menahan perempuan itu. dalam hati cowok itu menahan getaran keras di dalam dadanya, getaran yang membuat darahnya mengalir lebih cepat, getaran yang berasal ketika memandang perempuan yang begitu dingin dan getaran itu semakin kuat ketika tangannya mengenggam tangan perempuan itu.
                Apa mungkin ini yang dinamakan dengan cinta? Tapi Ronald begitu takut bila memang yang dirasakannya itu adalah cinta. Ia takut untuk jatuh cinta, ia masih memiliki sebuah luka terhadap cinta lamanya. Sampai sekarang ia masih belum dapat melupakan mantannya yang telah meninggalkan dia dengan sebuah penghianatan di depan matanya.
                Bukannya cinta itu terasa berbeda kepada setiap orang? Bukannya setiap orang memiliki kisah yang berbeda? Mengapa terkadang kisah yang lama itu sering terbawa ke lembaran baru, mengapa? Ah, rasanya memang terlalu naif bila ingin melupakannya kisah-kisah yang lama dan terlalu egois bila menjadikan kisah lama sebagai alasan untuk jatuh cinta, bahkan lebih egois lagi bila membanding-bandingkan seseorang dari masa lalu dengan masa sekarang.
***
                Hampir setengah jam dari bel pulang sekolah berbunyi tetapi Ronald belum juga muncul. Aksa hampir menghabiskan satu gelas es teh yang ia pesan, ia selalu benci dengan kata menunggu, menanti, atau apapun kata yang memiliki arti yang sama dengan kata itu. baginya menunggu adalah hal yang paling membosankan dan dapat membunuhnya dalam menanti, apalagi menanti dalam ketidakjelasan ia sangat membenci hal itu. sangat membencinya.
                Tepat di lembaran bab terakhir dari novel yang ia baca, atau satu jam dari waktu yang dijanjikan seorang cowok berlari ke arah kantin. Ketika sampai, cowok itu menunduk dengan napas yang tersengal-sengal dengan keringat yang membanjiri wajahnya.
                “Darimana aja?” tanya Aksa kepada cowok yang masih membutuhkan waktu untuk bernapas.
                Belum dijawab oleh cowok itu, Aksa pun kembali memberikan pertanyaan, “Gue udah nunggu lo satu jam! Dasar cowok!”
                Ronald menarik tangan Aksa, “Maaf.” Hanya kata itu yang mampu ia ucapkan.
Sebetulnya ia tidak sepenuh bersalah, karena sebagai anak futsal ia harus kumpul terlebih dahulu untuk membahas lomba berikutnya bersama pembina dan pelatih mereka, bahkan sebenarnya pertemuan ini belum usai tapi Ronald pergi meninggalkan pertemuan itu untuk bertemu dengan Aksa. Ia sudah berkorban, tetapi yang ia dapatkan rasa kecewa Aksa kepada dirinya.
“Maaf? Lo kira, Ron?”
“Dengerin gue dulu, Aksa. Gue mohon dengerin penjelasan gue dulu,” matanya sayu dan suaranya lemah seperti hatinya yang lemah ketika berhadapan dengan Aksa.
Ada jeda waktu yang lumayan panjang setelah Aksa menganggukkan kepalanya, jeda itu hanya diisi oleh kehampaan. Tanpa suara di antara mereka, bahkan detak jam dinding di terdengar. Kebisuan mengelayuti Ronald, dia begitu gugup saat itu, sangat gugup.
“Terus, lo mau ngomong apa sama gue?” Aksa memecahkan keheningan di antara mereka, menyadarkan Ronald lagi dari khayalannya.
Lidahnya terasa begitu berat untuk bergerak, keberaniannya menciut ketika mata mereka saling bertemu pada satu titik, kata-kata yang dirangkai sebelumnya berantakkan tidak karuan.
“Hei! Ronald Siagian!”
“Gue cuman mau bilang –“
“Iya, lo mau bilang apa? Lo mau ngasih alasan apa tentang telat lo yang buat gue nunggu satu jam, Ron?” Aksa langsung memotong kalimat Ronald yang belum selesai diucapkan. Ia benci untuk menunggu dan dibuat penasaran dengan kalimat yang mengantung.
Aksa terlanjur kesal dengan Ronald. Pertama, ia tidak mengucapkan terima kasih kepada dirinya sabtu lalu. Kedua, ia membuat keributan di perpustakaan sehingga Aksa mendapat omelan. Ketiga, ia dibiarkan menanti tanpa kejelasan selama satu jam. Dan yang terakhir, alasan yang paling membuat dia kesal ialah, perasaan dia terhadap Ronald. Diam-diam Aksa jatuh cinta terhadap Ronald, perempuan sedingin Aksa pun dapat jatuh cinta.
Alasan terakhir itu lah yang membuatnya dengan senang hati untuk menawarkan diri menemani Ronald di UKS, dan alasan itu yang membuatnya bertahan menantikan Ronald selama satu jam. Oleh karena alasan itu, ia berusaha untuk bersikap dingin terhadap Ronald untuk menutupi segala perasaannya.
“Terima kasih, ya, Aksara Dewinta.”
Akhirnya kalimat itu terselesaikan oleh Ronald. Akhir kalimat yang menjadi anti-klimaks bagi keduanya. Ronald tak sanggup untuk berterus terang dan kalimat itu yang hanya berada di otaknya kini, sedangkan Aksa, diam dengan kekecewaan dengan harapan yang pupus.
Setelah kalimat itu, Aksa langsung meninggalkan Ronald seperti sebelum-sebelumnya. tanpa banyak bicara dan pergi begitu saja. Aksa semakin kecewa terhadap Ronald. Ia beranggapan bila cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak pernah saling bertemu. Ia membenci hal ini, benci menyerah begitu saja.
Hanya itu yang sanggup dilakukan Ronald, menikmati punggung Aksa yang perlahan menjauh dengan senja yang menjadi latar pada warna langit.
Ronald yang masih mematung, sesuatu yang lain di bola mata Aksa lah yang membuat dia begitu gugup ketika tatapan mereka bertemu. Dari dalam bola mata itu lah yang membuatnya tak dapat berkata jujur. Ia hanya dapat merutuki dirinya sendiri saat membiarkan Aksa pergi begitu saja.
“Terima kasih untuk hari sabtu yang lalu, dan sebenarnya gue jatuh cinta sama lo, Aksa! Gue sayang sama lo.” ucapnya dalam hati saat punggung yang ia nikmati sudah hilang. Kata-kata itu yang sebenarnya ingin ia ucapkan tetapi pelangi di dalam bola mata Aksa yang begitu indah itu memaksanya untuk diam membisu.
Hanya ada rasa sesal yang dirasakan Ronald. Rasa sesal itu selalu berada di akhir. Iya, berada di akhir. Kalimat itu terus diulang-ulang oleh Ronald. Kemudian ia tenggelam dalam sesal dan kecewa.
Terima kasih Semesta karena menciptakan pelangi di dalam bola mata Aksa yang begitu indah. Terima kasih, Semesta!

No comments:

Post a Comment