Tuesday, April 1, 2014

Pertemuan Pertama.



Pertemuan pertama akan menghasilkan penilaian pertama bagi orang lain, bisa itu baik, bahkan bisa saja penilaian itu buruk. Bahkan dalam penilaian pada pertemuan pertama pun dapat menipu, namun kita lebih sering atau mudah menilai orang pada pertemuan pertama sendiri, padahal banyak orang yang mengatakan bila jangan menilai suatu buku melalui cover, sama seperti menilai seseorang jangan melalui penampilan dan pertemuan pertama. Aku pun menyadari lebih mudah dan cepat menilai seseorang dari penampilan dan kesan pertama, meski pada akhirnya terkadang juga penilaian kita salah pada orang itu.

Dalam pertemuan pertama pun kita dapat jatuh cinta, jatuh pada suatu perasaan yang begitu cepat dan tidak jelas. Cinta pun tidak hanya melulu memerlukan alasan yang tepat untuk menjawab mengapa dapat jatuh cinta?


            Sama seperti pertemuan kudulu dengan seorang perempuan yang tidak pernah lepas dengan kacamatanya itu. Seorang perempuan yang mampu membuat aku berjanji kepada diriku sendiri untuk dapat kembali hidup baik dan setidaknya mulai mengurangi kebiasaan burukku pada masa lalu. Seorang perempuan yang mampu membuatku tersadar bila hidup itu harus terus maju, apa pun yang terjadi hidup itu mengarah ke depan bukan ke belakang.

            Tatapannya, senyuman yang menghasilkan lesung pipit, tawa manjanya, ambegkannya, dan saat-saat ia sedang mengikat rambutnya. Itu semua yang membuat aku rindu pada dirinya. Rindu untuk mengulangi waktu-waktu bersama dengan dirinya, namun aku pun ragu bila waktu itu dapat terulang kembali?

            Apa pun yang terjadi, hidup itu mengarah ke depan bukan ke belakang! aku terlalu hapal dengan kalimat tersebut, kalimat yang selalu ia ucapkan kepadaku ketika kami masih bersama-sama, kalimat yang ia berikan ketika aku terjatuh karena beratnya beban yang aku pikul di pundak ini, kalimat yang sederhana tapi mampu membuatku bangkit berdiri kembali. Kalimat yang memiliki daya magis yang besar.

            Apa pun yang terjadi, hidup itu mengarah ke depan bukan ke belakang! kalimat inilah yang menjadi penutup dari perjumpaan kami yang terakhir malam itu, malam yang memberikan kesunyiaan dan kehampaan, terang bintang dan bulan yang sendu, hati yang patah akan luka karena penghianatan cinta.

Apa pun yang terjadi, hidup itu mengarah ke depan bukan ke belakang! hingga akhirnya aku menyadari betul bahwa kalimat ini memiliki arti agar aku berjalan terus ke depan dan melupakan kisah cinta kami bersama. Dan jangan berharap bila kisah itu akan kami rangkai bersama lagi seperti sedia dulu kala.

***

            Rangkaian foto yang terpajang di meja belajarku dan kertas-kertas puisi yang aku buat untuk dirinya hanya berakhir menjadi tumpukkan sampah yang tidak berarti lagi. Semuanya telah hilang dan mati. Sama seperti hati ini yang telah mati dan akhirnya membusuk begitu saja ditinggalkan oleh sebuah penghianatan.

            Apakah menjadi seorang pria yang setia itu hal yang bodoh di dunia ini? Apakah cerita tentang kesetiaan hanya ada di cerita dalam buku atau film-film roman picisan?

            Iya, aku percaya bila suatu luka yang disembunyikan dan didiamkan tanpa diobati, alih-alih dapat sembuh yang ada hanya membuat luka itu semakin parah dan membusuk, lalu hati ini semakin rapuh dengan menolak setiap cinta yang datang. Dan akhirnya sering mengenakan topeng-topeng untuk menyembunyikan luka-luka tersebut. Iya, hati yang terluka perlu disembuhkan dan diobati dengan cara membuka diri.

            Hingga kini aku begitu sulit untuk dapat move on, memang terdengar mudah untuk diucapkan tapi begitu sulit untuk dilakukan. Move on bukannya seperti membalikkan telapak tangan, tapi move on itu adalah pilihan dan kemauan yang membuat aku memilih untuk bertahan dalam bayang-bayang kelam masa lalu. Terluka dalam cinta.

***

Suasana yang begitu ramai dan riuh terjadi ketika ibadah usai. Setiap jemaat ada yang berusaha untuk keluar dan ada juga yang memaksa untuk masuk agar mendapat tempat yang mereka inginkan. Ada yang saling memaksa dan tidak mau mengalah, dan ada juga yang lebih memilih menunggu keriuhan di pintu gereja mulai menyepi.

            Aku menyibukkan diriku dengan ponsel milikku sambil memperhatikan lorong yang menuju pintu gereja. Tiba-tiba suara pintu terbuka dari ruangan yang berada di belakangku, seorang perempuan yang mengenakan pakaian putih hitam berdiri di muka pintu itu sambil tersenyum memandangi anak-anak kecil yang keluar dari ruangan itu.

            Terpesonaku pada pandangan pertama, seorang perempuan yang aku pandangi mirip dengan seseorang yang berada di masa laluku yang hingga sekarang aku tidak mengetahui kabarnya dan dimana dirinya sekarang. Perempuan yang berambut panjang dan kacamata yang berwarna merah menempel di wajahnya.

            “Aku pulang ya, kakak Karen!” ucap seorang anak kecil yang samar-samar terdengar di telingaku. Perempuan itu hanya membalasnya dengan senyuman dan mengusap-usap rambut anak kecil itu, lalu anak kecil itu memandangi sekitarnya dan berlari menuju ke arahku, yang ternyata keluarganya berada di dekatku, tapi perhatianku tetap berada pada perempuan yang anak kecil itu panggil Karen.

            Karen. Nama yang indah! Sesuai dengan parasnya yang sama indahnya dengan namanya tersebut. Aku ingin maju untuk berkenalan dengannya, tapi menurutku ini bukan waktu yang tepat. Selain masih begitu ramai dengan anak kecil, aku pun tidak berani berkenalan dengan seorang perempuan di tempat seperti ini. Aku begitu malu dan ciut, hingga akhirnya aku memilih untuk menunda perkenalan dengan perempuan yang sanggup menyita seluruh perhatianku tadi.

            Aku hanya duduk diam disini memperhatikan dirinya yang selalu tersenyum kepada setiap anak kecil yang keluar dari dalam ruangan. Dalam benakku, aku mengambil satu tebakkan bila perempuan yang dipanggil Karen ialah seorang guru sekolah minggu di gereja ini.

Seorang guru sekolah minggu. Berambut panjang dengan gelombang di ujungnya. Senyum yang menghasilkan lesung pipit. Badannya yang menurutku tidak kurus dan tidak juga gemuk. Tingginya yang sebatas bahuku. Dan tidak lupa dengan kacamata yang berbingkai merah yang ia kenakan. Ah, selalu ada tempat bagi para perempuan yang memakai kacamata untuk diriku.

Seketika itu juga ingatan tentang seseorang yang berada di masa laluku muncul perlahan di dalam ingatanku. Aku membenci hal yang seperti ini, aku masih kesal dengan apa yang pernah ia lakukan kepadaku dulu dan sebagian hati ini masih merindukan dirinya, masih terpatri dalam satu pecahan kisah yang sulit untuk dilupakan begitu saja. Aku menghela napasku pelan-pelan dan membiarkan diriku agar tenang ketika bayangan itu kembali lagi dalam ingatan.

***

            Langkah kakiku berhenti ketika mataku melihat seseorang yang aku perhatikan di dalam gereja sekarang berada di luar, sendirian. Aku pun tetap ragu antara menghampirinya atau melanjutkan langkahku untuk pulang ke rumah, dan membuang kesempatan yang mungkin saja sulit untuk terjadi lagi seperti ini ketika perempuan itu sedang sendirian seperti saat ini.

            Dari kejauhan aku memandanginya dan memperhatikan sekitar terlebih dahulu sebelum aku mengambil keputusan, menghampiri atau melewatkannya. Langkahku perlahan semakin mendekat kepada perempuan itu, semakin aku dekat semakin kencang getaran dalam diriku. Entahlah, semuanya tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata dan aku terlalu terbiasa tegang bila berkenalan dengan seorang perempuan secara langsung.

            Tinggal satu langkah lagi aku dekat dengan dirinya. Napasku tersengal-sengal, jantungku berdegup kencang, dan tanganku mulai basah oleh keringat dan dingin. Ada sebuah getaran-getaran aneh yang aku rasakan ketika langkah terakhir itu aku injak, hingga sekarang aku berdiri tepat di sampingnya. Berdiri memandangi jalanan yang sepi.

            “Hai!” sapaku pelan yang hanya memandangi dirinya sebentar lalu aku menghela napas dalam-dalam. “Dari tadi gue perhatiin, lo lagi sedih ya?” lanjutku dengan pertanyaan yang basa-basi dan kaku.

            Perempuan itu hanya diam. Tak merubah posisinya sejak semula dan dari bingkai kacamatanya aku dapat melihat kekosongan dari tatapannya. Dari balik bingkai kacamata itu masih mengalir tetesan air mata yang membasahi wajahnya. Dia begitu sedih, aku dapat merasakannya meski tidak sepenuhnya dapat ku mengerti tentang perasaan perempuan yang berada di sampingku ini.

         Aku pun ikut berdiam diri sambil menantikan kata yang terucap dari bibir perempuan ini. Sambil menantikan ia berkata, aku memperhatikan keadaan sekitar yang mulai sepi dari orang-orang yang berlalu lalang dan ibadah kedua pun sudah dimulai. Lama-lama aku mulai bosan dengan menantikan perempuan ini berbicara, mungkin dia sedang mengharapkan waktu untuk sendiri, atau mungkin saja kehadiranku yang tidak ia kenal juga tidak diharapkan olehnya.

            Ketika aku hendak meninggalkannya, tiba-tiba ia menghela napasnya dalam-dalam dan tersenyum sendiri yang membuat aku tertahan untuk memperhatikan dirinya lagi. Mataku terus memandanginya dan pandangan kita bertemu selayaknya adegan romantis yang tersaji pada ftv-ftv, sama seperti saat adegan-adegan seperti itu pasti ada yang menjadi salah tingkah karena ketahuan dan saling tatap-tatapan aneh atau serba canggung. Dan yang menjadi orang yang serba aneh dan canggung itu sekarang adalah aku.

            “Sorry, tapi lo siapa ya? soalnya gue engga kenal sama lo!” ucapnya ketus, sesuatu yang tidak kuharapkan mendapat balasan seperti ini. Seakan-akan harapan dan keberanian yang aku tanamkan harus dicabut dengan segera oleh perempuan ini.

            “Gue, Ryo! Iya, kalau misalnya kehadiran gue ganggu lo, gue cuma bisa bilang, maaf. karena gue padahal tadinya gue cuman mau kenalan sama lo doang. Itu aja sih.” Jelasku perlahan dengan mengepalkan tanganku untuk memberanikan diri sambil berjalan mundur secara perlahan.

            Lagi-lagi perempuan yang kuketahui namanya Karen hanya kembali diam seperti sedang memikirkan sesuatu, atau dia masih menyimpan rasa curiga terhadapku yang seorang asing bagi dirinya mencoba berkenalan dengannya, atau dia tidak mengharapkan aku yang berada di sampingnya saat itu.

            Langkah mundurku semakin membuatku jauh darinya yang masih berdiri diam mematung. Namun, ketika aku memutar balikkan badanku,

            “RYO!”

            Aku mendengar suara perempuan memanggil namaku, untuk berjaga-jaga aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling untuk menyakinkan bila memang aku lah yang dipanggil. Lagi, untuk kedua kalinya aku mendengar bila namaku yang dipanggil dan ketika itu aku berani memastikan, bila hanya ada aku yang berada di luar gereja. Dan kalaupun itu benar, aku dipanggil oleh perempuan itu!

            “Ryo! Terima kasih karena daritadi lo nemenin gue disini!” teriak perempuan itu ketika aku menoleh ke arahnya, “Sekali lagi, terima kasih ya, Ryo!” dia melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum kepadaku.

            “Sama-sama! Tapi, nama lo siapa?”

            “Panggil aja gue, Karen!” jawabnya singkat lalu kembali masuk ke dalam gereja meninggalkan segala misteri dan pertanyaan di dalam benakku saat itu.

            Aku kembali melangkah ke parkiran dan duduk di atas jok motorku. Bayangan perempuan itu muncul dalam benakku, bayangan senyuman saat perpisahan tadi, bayangan saat dia memandangku aneh, bayangan saat dia berkata dengan ketus. Dan, satu hal yang tidak terlalu aku mengerti tentang perempuan, mereka bisa dengan cepat berubah dari yang awalnya dingin bisa tiba-tiba hangat. Entahlah apa alasannya, mungkin hanya perempuan dan Tuhan yang mengerti akan jawabannya.

            Setidaknya kali ini aku dapat mengalahkan rasa ketakutanku untuk dapat berkenalan dengan seorang perempuan yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Kali ini, aku melangkah dengan satu harapan dan satu keinginanku selanjutnya hanyalah dapat dekat dengan seorang perempuan manis yang bernama Karen.

No comments:

Post a Comment