Monday, July 21, 2014

Yang Bertahan dan Yang Berjuang.

Pikiranku langsung melayang kemana-kemana saat mendengar kalimat tersebut. Kalimat yang sederhana namun sanggup membuatku bertanya-tanya. Bukankah kita semua memang perlu yang namanya bertahan dan berjuang? Bukankah dalam bertahan itu butuh yang namanya perjuangan? Dan, memang berjuang tidak selamanya identik dengan bertahan. Lalu, mengapa hal ini menjadi sebuah pertanyaan?

Bila dalam sepakbola ada sebuah istilah menyerang ialah pertahanan terbaik. Perjuangan yang dilakukan dalam penyerangan butuh kerja ekstra keras untuk dapat membongkar pertahanan lawan untuk mencetak gol dan meraih kemenangan, namun disisi lain pun negative football yang memainkan taktik tidak indah dan cenderung membosankan dengan memarkirkan bis, pesawat, bahkan tank sekalipun di dalam lapangan lebih pasnya dalam pertahanan sendiri, hampir sebagian pemain bertahan untuk menjaga keunggulan atau mencegah supaya tidak kebobolan.


Ada sebuah seni yang diperagakan dari kedua taktik tersebut, seni bagaimana caranya bertahan dan seni bagaimana cara untuk menyerang. Dan, menurut saya seni bertahan terindah itu yang pernah diperagakan dan begitu diagungkan dari sepakbola Italia. Bertahan yang ditampilkan di era modern sekarang, terlalu membosankan dengan menumpuk pemain dan semua dilakukan hanya untuk mengincar hasil yang setidaknya tidak kalah dalam suatu pertandingan.

Lalu, manakah yang menarik antara bertahan dan menyerang?

Dalam sepakbola, mungkin saya akan lebih memilih menyerang. Alasannya karena sepakbola yang menyerang akan selalu membuat penasaran dan bila menyerang akan menghasilkan banyak gol. Sepakbola itu tentang gol bukan? Bila tidak ada gol, malah sepakbola itu tidak jadi menarik dan membosankan malah bisa bikin kantuk berkepanjangan dalam satu pertandingan.

Seperti halnya saya jatuh cinta terhadap Arsenal. Permainannya yang indah mampu membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Setiap melihat pertandingannya di layar kaca, seperti sedang merasakan kasmaran. Jantung berdebar kencang dan melihat permainannya yang indah bola mengalir dari satu kaki ke kaki seperti sedang foreplay yang akhirnya berbuah gol terasa seperti sedang berejakulasi saat gol yang disaksikan begitu indah dan menawan.

Namun, semuanya kembali lagi pada setiap pribadi memilih yang mana. Seni bertahan atau seni dalam menyerang.

Bila kita menarik ke dalam kehidupan sebenarnya atau lebih fokusnya mengenai permasalahan percintaan. Berjuang merupakan kalimat yang paling mutakhir dan pamungkas dalam setiap kisah cinta. Tanpa berjuang berarti tak ada hasil yang didapatkan. Tapi, berjuang itu bukan hanya melulu mengenai seberapa besar kita berjuang seperti dikonsepkan menyerang. Bertahan pun bisa dikonsepkan sebagian dari arti berjuang itu sendiri.

Karena pada dasarnya, bertahan akan lebih menyedihkan dibandingkan orang-orang yang memilih untuk menyerang. Berjuang dengan cara bertahanan akan merasakan sakit yang lebih dalam, semua yang dipendam dan ditahan akan sakit. Semua yang tak diungkapkan bila terlambat akan merasa menyesal. Lalu pada akhirnya menyalahkan diri sendiri karena terlambat.

Bahkan logika yang sering dipakai dalam bertahan adalah karena tidak enak atau tidak berani sehingga dipendam begitu saja sampai basi sendiri dan sakit sendiri. Berpura-pura bahagia padahal dalam hatinya sakit, mengaku dapat bertahan padahal dalam hatinya sudah sulit untuk bertahan, dan memberikan alasan mengenai akan berjuang bertahan sampai akhir. Atau, bertahan memendam rasa cintanya terhadap seseorang yang ia cintai. Melemparkan berbagai kode terhadap orang tersebut dan bila orang tersebut tidak mengerti, orang tersebut akan disalahkan dianggap tidak peka terhadap lingkungkan sekitar. Apakah ini yang dinamakan logika dalam bertahan?

Bukankah lebih baik berkata terus terang dalam sebuah perasaan? Bukankah perasaan tidak bisa berbohong? Namun, mengapa kita lebih suka untuk membohongi perasaan disaat kita mencoba untuk berjuang bertahan mencintai dalam sunyi kita sendiri?

 Takut? Ragu?

Saya mulai berpikir lagi. Terkadang orang yang hanya bertahan lebih egois daripada orang yang bertindak dengan langsung atau menyerang. Iya, dia egois karena hanya memendam perasaannya tanpa berani untuk mengatakan apa yang ia rasa. Iya, dia egois karena membiarkan dirinya terus menerus terluka karena sakit saat memendam perasaannya. Iya, seperti halnya yang aku lakukan sekarang ini.

Aku memilih untuk memendam rasa kagum atau jatuh cinta terhadap seseorang dengan sendirinya tanpa berani untuk mengungkapkannya kepada orangnya. Alasan demi alasan langsung muncul begitu saja dan mengantri seperti orang yang sedang dalam antrean tiket kereta api.
Pengecut?

Iya, yang hanya bertahan saking pengecutnya hanya berani dalam hatinya. Keberaniannyaa luluh begitu saja saat melihat kecantikan dan kelucuan orang yang ia kagumi. Seperti halnya pengecut-pengecut yang sering menjadi bahan dalam cerita, mengenai pengecut yang tidak berani untuk mengucapkan kalimat-kalimat mujarab atau mendekati orang yang suka, namun beberapa pengecut lainnya memiliki alibi padahal ia memiliki keistimewaan didalam dirinya.

Si pengecut itu tidak berani untuk mengambil resiko yang lebih besar lagi sehingga ia memilih untuk memendam rasa cintanya sendiri. Dia berjuang untuk dirinya sendiri, berjuang dalam mimpi yang semu seperti ia sedang bermasturbasi dengan foto-foto atau video lalu memasukkan ke dalam otaknya sehingga menganggap bahwa ia sedang benar-benar melakukan hal yang demikian.

Si pengecut itu jatuh ke dalam lubang hitam. Ia ditarik ke dalam lubang. Lubang yang sebenarnya ingin dia lupakan tetapi lubang itu terus hadir dalam kenangannya tiba-tiba tanpa diundang lalu mendekapnya dengan erat hingga tak dapat bernapas. Kenangan yang sulit ia lupakan mengenai kenangan-kenangan masa lalunya bersama dengan kekasihnya yang dahulu. Kenangan itu tidak segera ia hapuskan dan kenangan itu tidak memiliki jarak sama sekali. Sesuka hati kenangan itu, kadang bisa jauh, kadang bisa sangat dekat.

Bagaimana dengan orang-orang yang memiliki keberanian untuk mendekati secara terang-terangan atau yang enak menyerang?

Posisi yang bisa masuk ke dalam posisi yang serba salah. Gampang kenalan dengan orang lain atau gampang jatuh cinta terhadap orang lain, bisa dibilang gampangan. Susah jatuh cinta sama orang lain bisa dibilang gagal move on atau payah.

Banyak yang memberikan nilai plus untuk yang memilih berjuang dengan menyerang. Keberaniannya untuk berkenalan sampai jatuh cinta diapresiasikan setinggi-tingginya. Keuntungan dari orang yang menyerang ialah luka yang ia alami tidak akan separah orang yang memendam rasanya sendiri. Mereka diposisikan sebagai golongan yang memiliki kehebatan luar biasa.

Padahal, kita semua menyadari bahwa baik yang menyerang atau bertahan adalah cara untuk berjuang dalam cintanya. Setiap orang bebas memilih mau dengan cara seperti apa namun semuanya memiliki resikonya masing-masing dan mereka lah yang memilih tingkat resikonya setinggi apa.

Orang yang bertahan memendam rasa cintanya bukan berarti dia pengecut. Orang yang menyerang bukan berarti dia gampangan. Orang-orang memiliki caranya sendiri dan tidak dapat di pukul rata semuanya sama.

Memperjuangkan cinta adalah hal yang terindah dalam hidup ini. terkadang kita harus tahu kapan waktu untuk menyerang dan kapan untuk bertahan, tidak selalu kita mengambil bagian dalam posisi menyerang setiap kesempatan atau bertahan disetiap kesempatan. Bila, hal tersebut dilakukan secara terus menerusan dengan pola yang sama akan menghasilkan sebuah kebosanan dan kaku.

Bahkan baik yang berjuang dengan bertahan atau menyerang pada akhirnya akan kalah dan tidak memiliki kuasa juga bila berhadapan dengan Yang Maha Kuasa.

No comments:

Post a Comment