Hari mulai larut, jalanan ibukota pun mulai sepi dari lalu lalang kendaraan. Malam yang tenang dengan ditemani lampu lalu lintas yang membuat suasana saat itu seakan memberikan keromantisannya. Jalanan ibukota yang keras yang penuh dengan polusi seakan menginjak perlahan berubah dengan keheningan dan kesejukkan yang jarak dirasakan di Jakarta.
Di satu lampu merah Jack menghentikan motornya yang ia kendarai, pekerjaan yang tak kunjung selesai terpaksa ia kerjakan hingga akhirnya baru selesai larut malam. Ketika ia berhenti, seorang anak dengan membawa alat musik ukulele menghampirinya dan menyanyikan sebuah lagu di sampingnya.
Wajah anak itu lusuh dan kantung matanya besar, pakaian yang dekil pun melekat di tubuh kecil itu. Hati Jack pun terenyuh ketika melihat anak kecil itu, bukan karena lagu yang ia nyanyikan atau suaranya yang selalu berantakan, tapi ia merasa iba melihat anak sekecil itu masih berkeliaran di jalan raya untuk mencari uang. Ketika anak-anak seusianya sudah tidur di jam segini, dia masih terjaga dan mencari uang.
Dalam hati Jack bertanya-tanya sendiri, mengapa orang tuanya setega ini membiarkan anaknya bekerja hingga larut malam? Apakah anak ini tidak sekolah besok? Pertanyaan itu hanya menjadi sebuah pertanyaan di dalam hatinya, ia tidak sempat untuk bertanya karena lampu sudah berwarna hijau dan dia pun tidak sempat memberikan sepeser uangnya terhadap anak kecil tadi.
Sepanjang perjalanan, ia sengaja mengendarai motornya dengan perlahan dan memandangi pinggiran jalan. Ia terkejut ketika beberapa kali ia melihat anak-anak kecil yang masih bangun dan bermain, tapi ada juga sepintas yang ia lihat sedang beristirahat di emperan atau halte-halte bis. Hatinya semakin berat ketika ia berhenti di satu merah, dan anak-anak itu menghampiri Jack.
Tangan-tangan yang tak lelah untuk memetik senar pada ukulelenya, senyumnya yang seakan ingin memperlihatkan kepada orang bahwa ia baik-baik saja dan bahagia dengan keadaannya seperti ini, langkah kaki yang ringan berlari mendapatkan setiap kendaraan yang berhenti, dan tatapan mereka ketika bernyanyi yang mengharapkan belas kasihan dan mendapatkan bantuan sepeser pun, bukan hanya ucapan terima kasih atau maaf.
Tidak ingin mengulangi kesalahannya yang pertama, Jack meronggoh kantong saku jaketnya dan memberikannya kepada anak itu. Ia tahu bila ia salah karena hal tersebut di larang, tetapi hati nuraninya memaksakan untuk memberikan bantuan kepadanya. Ketika, pemerintah tak lagi terlihat sanggup untuk melindungi, menjaga, dan merawat mereka, siapa lagi yang bertanggung jawab kepada mereka? Bila, hati nurani ini masih ada dan hidup, mereka seharusnya bukan dijalanan selarut ini, namun mereka terpaksa karena keadaan yang mengharuskannya. Seharusnya kita semua yang membantu mereka, mereka bukan anak-anak yang terlantar, tapi entah siapa yang membuat mereka terlantar seperti ini.
Sebuah ironi yang terpampang nyata di kehidupan kota yang begitu keras ini, tidak hanya pagi atau siang hari, tapi seharian penuh anak-anak tersebut berada di jalanan yang keras. Ketika mereka mendapatkan uang dari hasil jerih payah dan keringat mereka, hasilnya belum tentu semuanya untuk mereka, ada yang diambil oleh preman jalanan atau mereka berikan kepada orang tua. Anak-anak yang seharusnya memiliki masa depan cerah itu, terlempar di satu fase kehidupan yang begitu keras. Bukannya mereka tidak ingin sekolah atau merasakan kehidupan seperti anak-anak yang lainnya, tapi banyak di antara mereka di umur yang masih kecil itu sudah menjadi tulang punggung bagi keluarga mereka.
Jack memajukan motornya dan berhenti di satu tempat yang banyak anak kecil sedang beristirahat disana, ia mendekati dua orang anak yang masih dapat tertawa gembira dan bermain bersama.
“Hai! Boleh kakak istirahat disini sebentar dan ngobrol-ngobrol sama kalian?” Jack membuka pembicaraan di antara mereka dan rasa penasaran dalam hatinya yang mendorong dirinya untuk berbicara kepada mereka.
“Iya ka, gapapa.” Jawab seorang anak perempuan yang kira-kira masih berumur 6 atau 7 tahun dengan senyum lepas.
Tapi, satu anak lagi terlihat ragu-ragu dan melirik keadaan sekitarnya.
“Nama kakak, Jack, nama kalian siapa?” Jack memperkenalkan dirinya dengan lembut dan menyodorkan tangannya ke dua anak itu,
“Nama aku,Bunga Ka! Kalau dia, namanya Tian ka.” Jawab gadis kecil ini dengan antusias dan senyum yang ramah tak kunjung hilang dari wajahnya.
“Ah, kamu kenapa? ada yang salah ya kakak disini Tian?”
“Engga ka, tapi aku takut aja kalau nanti ada yang datang terus kakak yang kena karena kakak disini.”
Jack penasaran dengan apa yang dimaksudkan oleh Tian saat itu, ia pun ikut memperhatikan keadaan sekitarnya yang sepi, karena sekarang sudah jam setengah satu malam.
“Maksud kamu, apa ya Tian?” tanya Jack dengan penasaran dengan keraguan muncul dalam hatinya, bimbang dan takut dengan keadaan yang buruk akan terjadi menimpanya.
“Gapapa ka! Cuma, jangan lama-lama ya disini, soalnya yang lain sudah mau datang dan nanti kakak engga bisa pulang, gitu maksudnya Tian ka!” sela Bunga dengan cepat yang dilanjutkan dengan anggukan lemah Tian yang matanya masih mencuri-mencuri memperhatikan keadaan sekitar.
“Iya, kakak cuma sebentar kok, cuma mau tanya ke kalian sedikit habis itu kakak pulang kok, boleh kan?”
Mereka mengangguk setuju tanpa banyak permintaan dan penolakan lagi setelah Jack memberikan jawaban dari ucapan Bunga tadi.
“Kalian engga sekolah?” Jack memberikan pertanyaan kepada mereka yang menjadi rasa penasaran di dalam hatinya semenjak tadi melihat anak-anak yang dijalanan selarut ini.
“Engga ka.” Jawab Tian dengan singkat tanpa memandang ke arah Jack. Tapi perhatiannya tertuju jauh dari tempat kami duduk sambil memukul-mukul paha Bunga dan menunjuk ke arah yang ia pandangi.
“Ka!! Mending kakak pergi sekarang! Soalnya mereka datang ka!” ucap Bunga yang begitu panik ketika melihat ke arah yang dituju oleh Tian.
Jack semakin bingung dengan keadaan sekarang, ia masih ingin menuntaskan setiap pertanyaan di dalam hatinya, tapi ia pun tidak ingin memaksa anak-anak itu menjawabnya karena mereka menyuruh Jack pergi dengan alasan keamanan tanpa menjelaskan kepada Jack ‘mereka’ itu siapa.
Jack menarik dompetnya dan menarik uang di dalam dompetnya, ditariknya tangan Tian.
“Yaudah kalau begitu kakak pergi ya, kalian hati-hati ya! mungkin, cuma ini yang bisa kakak bantu buat kalian, ini buat kalian!” ucap Jack sambil menyalam tangan Tian dan memberikan uang tersebut disela-sela salaman mereka.
Jack tersenyum sedih ketika waktu telah memisahkan mereka, ia sempat sedikit mengacak-acak rambut Bunga dan merapalkan beberapa kalimat sebelum akhirnya ia meninggalkan kedua anak itu di malam yang larut ini.
Sebuah misteri yang masih menganjal di dalam hatinya, selama perjalanan pulang ia masih melihat beberapa anak yang masih terjaga atau tidur di pinggir jalanan. Jakarta memang begitu keras, bahkan untuk anak seusia mereka pun Jakarta tidak mengenal istilah pengecualian. Jack tak tahan lagi untuk menitikkan air matanya saat mengendarai motornya dan ia berharap suatu hari nanti, anak-anak tersebut dapat berkembang dan bertumbuh menjadi seorang yang lebih baik lagi daripada kehidupan kecil mereka yang begitu keras di jalanan.
Lagu Adios Nine pun terlantun secara acak melalui handphonenya yang tersambung pada earphonenya. Ia merasakan seakan dejavu saat mendengar suara merdu di kupingnya tersebut.
KIDS WITH UKULELE
i can sense the bitterness
in their hands, in their smiles, at the traffic light
and they’re asking for money at 2 am trough the night
standing at the bus lane, waiting for the red lights to come
storming the cars stopping there, a common sight everywhere
do you have a dream?
do you have a choice?
i hope you do
kids with ukulele
no time to play
no time to play
this irony and cruelty, exploited and tired
sometimes i see you laugh
and i’m curious of how you see this world
do you even care?
you should have time to play
do you have a dream?
do you have a choice?
i hope you do
kids with ukulele
no time to play
kids living on the streets
musicians by defeat
you have a future
you are the future
do you have a dream?
do you have a choice?
i hope you do
kids with ukulele
no time to play
no time to play
no time to sleep
no time to dream
No comments:
Post a Comment