Aku melihat
dirinya yang sedang diam duduk dipojokkan sambil membaca buku tanpa
mempedulikan sesorang yang berada di sekitarnya.
Perempuan itu
larut dalam bayangannya sendiri, sosok yang terlihat unik dengan wajah yang
pucat, rambut panjang hitam, kulit putih bersih, kurus, dan kacamata besar yang
ia kenakan. Jarang aku melihat seorang perempuan dengan memakai kacamata besar
di jaman sekarang, ketika banyak yang lebih memilih untuk memakai lensa kotak,
tetapi dia tidak.
Aku melanjutkan
tulisan aku di depan laptop, sambil sesekali mengamati perempuan yang berada
tidak jauh dari tempat aku duduk. Ada sesuatu yang menarik perhatianku untuk
mengamatinya, dan perhatian yang menarik itu membuat rasa penasaran untuk
berkenalan dengan dirinya.
Buku-buku yang
berantakan di atas mejanya, sekotak es krim cokelat, dan kentang goreng menjadi
temannya.
Aku melangkahkan
kakiku mendekati dirinya dengan keberanian dan nekat untuk mengenal dirinya.
"Suka
baca?" tanyaku langsung membuka pembicaraan.
Ia tersenyum
memandang diriku, "Iya, kenapa?"
"Sama sih,
kalau suka baca, apa suka nulis juga?" aku melanjutkan pertanyaanku
mencoba mengenal dirinya melalui sisi yang berbeda.
"Hehehe...
kalau nulis, engga terlalu suka, memangnya kenapa?"
Dia menjawab
dengan senyum yang mengembang di wajahnya, meski ada keraguan pada dirinya
ketika gue datang untuk bertanya kepada dirinya hal-hal yang tidak terlalu
penting bagi dirinya, tapi dia tetap berusaha untuk menyambut gue dengan ramah.
Perempuan ini
mengangguk memberikan persetujuan kepada diriku. Aku langsung kembali ke meja
awalku dan membereskan segala barangku, lalu memindahkannya ke meja perempuan
tadi.
Dia kembali
tenggelam sibuk dengan bacaannya dan tidak menghiraukan bagaimana sibuknya dan
keberisikan yang aku buat saat pindahan untuk duduk dekat dirinya. aku sesekali
mendapati matanya yang sedang mencuri-curi mengamati ku, tapi aku tidak
mempedulikannya.
"Nama gue
Tom, lo siapa?" kenalku selesai memindahkan semua barangku.
"Iya gue
tahu kok, kalau nama lo Tom, itu dari baju lo kan ada nama lo dan lengkap
lagi." jawabnya tersenyum menunjuk ke arah bajuku, "Panggil gue Lina
aja."
Kami sama-sama
tertawa dan dalam diriku merasakan sesuatu hal yang aneh ketika melihatnya
sedang tertawa lepas seperti itu. aku teringat pada sosok perempuan yang pernah
menjalin kisah cinta bersama denganku dulu, sebuah kisah yang telah berakhir
dua tahun yang lalu, tapi aku belum pernah bisa lepas dari bayangannya.
meskipun ku coba, itu sulit rasanya.
****
"Kamu memang
engga bisa dipercaya lagi Tom! kamu jahat!" ucap Sasya bergetar dengan air
mata yang tak kunjung berhenti mengalir dari matanya yang indah.
saat itu aku
tidak tahu harus bagaimana, lidahku kelu dan aku seperti orang yang gagu.
menunduk pasrah dan bersalah dengan semua yang terjadi. semua ini memang
salahku sehingga Sasya bisa marah besar terhadapku dan aku memang pantas untuk
disalahkan.
Sasya ialah gadis
mungil yang lucu dengan kacamata yang tak pernah lepas, rambut pendek sebahu,
dan pipinya yang tembem. aku dan Sasya terpaku pada perbedaan umur yang tidak
terlalu jauh, hanya dua tahun bedanya dan selama ini kami merasa perbedaan umur
tidak akan menjadi masalah di antara kami. karena kami percaya cinta itu hanya
butuh kepercayaan dan umur tidak jadi masalah.
aku ingat Sasya
pernah mengatakan, "Kedewasaan seseorang itu bukan ditentukan dari
umurnya, terkadang banyak orang yang sudah seharusnya dianggap dewasa dari
umurnya malah sering bertindak kekanak-kanakan, atau kakek-kakek saja diumurnya
yang mulai senja mereka sering ngambek dan ingin diperhatikan oleh anak dan
cucunya."
meskipun dia
lebih muda dari aku, tapi cara berpikirnya lebih dewasa dan jauh kedepan
daripada aku. bahkan ketika berbagai masalah yang sedang gue hadapi atau
kerjaan yang mendekati deadline, dia merupakan orang yang tak jemu-jemunya
memberikan semangat dan motivasi untukku supaya tidak menyerah kalah. dia
selalu ada untukku saat itu, sebelum semuanya berakhir dengan air mata.
"Aku sudah
mencoba untuk percaya sama kamu dan memaafkan kamu berkali-kali! tapi apa
hasilnya? kamu engga pernah berubah dan aku capek Tom untuk terus-terusan
pura-pura kalau aku sebenarnya kuat." suaranya yang tertahan dan pipinya
yang basah oleh karena air matanya mengetuk hati ku lebih dalam lagi.
"Kamu memang
engga pernah bisa peka! engga pernah bisa untuk memahami apa yang aku rasakan!
kamu egois!" lanjutnya parau dengan emosi yang mengikuti.
aku hanya
membiarkan diriku tertuduh oleh perasaan bersalah itu, aku tak bisa untuk
memberikan argumen dan pembelaan bila aku tak salah. aku sadar aku salah, jatuh
ke dalam lubang yang sama dengan membiarkan orang yang mencintaiku dan selalu
ada untukku menahan sakit yang berulang-ulang dan kekecewaan yang begitu
mendalam.
mungkin, aku
terlalu bodoh saat membiarkan kepercayaan itu aku buang begitu saja hanya
karena perempuan lain yang menarik perhatianku saat itu. kepercayaan yang ia
tanamkan, aku hancurkan begitu saja dengan ulahku yang telah berkali-kali
berjanji dan berkali-kali pula mengingkarinya, memainkan hatinya. kesalahan
fatal dan bodoh untuk diriku.
"Maaf..."
ucapku singkat dan pelan.
"Apa? Kamu
bilang maaf?" tanyanya dengan emosi yang mulai meninggi, "Kamu pikir
gampang Tom? setiap bikin kesalahan kamu dengan gampangnya bilang maaf, lalu
bikin kesalahan yang sama lagi! Aku muak Tom! aku muak!" matanya membulat,
tangannya terkepal kuat di atas meja, dan napasnya yang tersengal-sengal.
"Iya aku
tahu, namanya juga manusia pasti sering bikin kesalahan kan Sas?" ucapku
memberikan satu argumen dengan lemah dan memandang ke meja.
"TOM! kamu
sudah berkali-kali bikin kesalahan yang sama di tempat yang sama! kalau kamu
manusia, seharusnya kamu bisa belajar dari kesalahan itu dan kamu memang engga
pernah bisa peka terhadap perasaan aku!"
aku sudah tidak
berkutik lagi memberikan pembelaanku pada dirinya dan ada jeda waktu di antara
kita yang diisi oleh kekosongan dan keheningan.
"Aku kecewa
sama kamu! aku sudah engga kuat lagi sama kamu! aku mau bilang kita
putus!" ucapnya memecahkan keheningan di antara kami, ucapannya tersebut
menghentak ku dan membuatku semakin tidak dapat berkata apa-apa.
"Putus?
Tapikan?" aku mencoba menyakinkan diri apa yang aku dengar itu salah.
"Iya. Putus!
mulai sekarang kita sudah engga ada hubungan lagi!" jawabnya mempertegas
keyakinannya dan ucapannya, lalu pergi meninggalkan ku sendiri, namun sebelum
dia menjauh dari ku, aku menangkap tangannya dan menahannya supaya tidak pergi
dahulu.
"Tapi aku
masih sayang sama kamu, berikan aku satu kesempatan lagi... aku mohon!"
ucapku lemah mengenggam erat tangannya.
"Tom!
lepasin tanganku!" bentaknya sekali lagi tapi aku tidak mempedulikannya,
"Yang kamu bilang itu basi! aku sudah engga bisa percaya lagi sama kamu
Tom! perasaanku ke kamu sudah tawar, mending kamu sama cewek murahan yang kamu
godain kemarin itu!"
"Engga, aku
maunya sama kamu!" elakku menatap wajahnya yang diterpa dengan cahaya
lampu.
Ia menarik
tangannya dengan kuat sehingga terlepas, "Kamu memang egois!"
ucapannya terakhir kali sebelum ia meninggalkan aku sendirian.
malam itu, aku
mengamati kepergian dirinya hingga siluet bayangannya hilang dikejauhan.
kepergian seseorang yang paling kita sayangi itu ternyata menyakitkan dan kita
terkadang baru menyadari betapa berharganya seseorang untukku kita itu saat
telah kehilangan dirinya, saat semuanya sudah terlambat.
"Aku janji,
aku bakal nunggu kamu untuk kembali kepadaku!" kataku pelan ketika Sasya
telah pergi meninggalkan aku dan takkan pernah bisa mendengar janji yang aku
ucapkan ini.
berdiri di
samping kaca, aku mendongkakkan wajahku ke atas awan, aku melihat malam ini
begitu sepi dan hening. tidak ada keramaian di awan, tidak ada bintang dan
bulan membuat kehampaan di malam ini. sama seperti perasaanku sekarang yang
begitu sepi dan hampa, bintang yang selalu menyinari malamku, baru saja pergi
dan menghilang takkan pernah bisa kembali lagi.
****
"Tom? lagi
banyak masalah?" tanya Lina dengan pandangan matanya yang mengasihani
diriku, pandangan yang sebenarnya paling aku benci namun pandangan dari mata
Lina berbeda dari yang lainnya.
"Gapapa sih, cuman tawa lo mirip sama
seseorang aja. hehehe" jawabku terkekeh pelan menenangkan diriku.
"Oh gitu.
pasti mirip sama pacar atau mantan lo ya?" tanyanya sambil meletakkan
bukunya yang dari tadi ia baca dan memandang ke arahku.
aku tidak dapat
menjawab apa-apa, hanya dapat tersenyum pendek.
"Iya, kalau
lo masih suka bandingin dan inget-inget, kapan bisa move on?" lanjutnya
dengan sebuah pertanyaan yang menohok hati ku.
"Move on itu
engga gampang, apa lagi move on sama orang yang paling kita cintai dan
sayangi," jawabku pelan yang berasal dari hatiku paling dalam.
"Maaf ya
sebelumnya, buat apa kita susah-susah untuk bertahan di hati seseorang yang
padahal orangnya itu engga peduli lagi sama kita, atau malah orang itu engga
pengin kita ada di dalam hati mereka. buang-buang waktu sama tenaga!"
ungkap Lina yang pandangannya tak lepas dari mataku.
"Iya sih,
tapikan..."
"Terlalu
banyak tapi dan alasan, satu-satunya cara untuk bisa move on, ya buka
hati!" selanya cepat sebelum aku memberikan semua alasan tentang hal yang
membuat aku susah untuk move on.
"Iya juga
sih, cuman kan..."
"Tom, gue
memang baru kenal lo sekarang dan mungkin lo awalnya anggap gue orang yang
aneh, tapi percaya sama gue, move on itu gampang kalau lo mau dan buka hati lo,
move on itu jangan pakai alasan karena apa atau engga bisa."
aku tertegun
mendengar ucapan dari Lina yang begitu bijak dan menyentuh hatiku. aku
menyadari bahwa yang diucapkan Lina itu benar, sudah terlalu lama aku untuk
menutup diriku pada cinta yang lain, aku terlalu lama untuk berkubang pada
janji pada seseorang yang telah pergi dan tidak peduli lagi sama aku. aku
memang bodoh dalam bercinta.
"Ternyata
benar kata para pujangga cinta, ternyata kita baru menyadari arti cinta
sebenarnya saat kita kehilangan orang tersebut."
Ia tersenyum
sambil menuliskan kata-kata yang ia ucapkan tadi dalam bukunya.
"Iya benar
yang lo bilang, btw gue boleh jadi teman atau sahabat lo engga?"
kali ini Lina
yang tertegun ketika mendengar ucapanku, aku tidak peduli dia akan memikirkan
apa tentangku nantinya, karena yang pasti aku merasa sangat nyaman untuk dekat
dengan dirinya dan aku yakin dalam diri dia adalah obat yang sanggup
menyembuhkanku dari sakit yang aku rasa ini.
"Beneran?
engga salah yang gue dengar? lo mau temenan dan bahkan mau sahabatan sama orang
yang aneh kaya gue gini?" tanyanya balik bingung dengan yang ia dengar.
"Beneran.
menurut gue, lo engga aneh tapi lo unik, dari obrolan kita tadi gue rasa nyaman
ngobrol sama lo." tegasku sekali lagi dengan ucapan yang sebelumnya aku
ucapkan.
"Hahaha...
begitu toh, terserah sih." balasnya yang sambil menulis di dalam bukunya
tanpa memperhatikan aku sebagai lawan bicaranya.
es krim yang
mulai mencair dan kentang goreng yang habis menjadi awal dari perpisahan kami
berdua di malam ini. ia memilih untuk kembali pulang ke rumah dan beristirahat
melanjutkan membaca buku-buku yang baru ia beli.
aku tersenyum
melihat dirinya. berbeda seperti kejadian dahulu ketika malam itu tidak ada
bintang dan bulan, sekarang malam ini di langit penuh dengan bintang dan sinar
rembulan yang menerangi malam. dulu aku meratapi kepergian Sasya dengan air
mata dan sesal, sekarang aku melihat kepergian Lina dengan sinar harapan yang
baru di dalam dirinya untuk aku.
No comments:
Post a Comment