Entahlah.
Aku lupa sejak kapan tepatnya dan sampai kini pun aku tetap tidak mengetahui
siapa perempuan itu. Perempuan yang terkesan biasa-biasa saja untuk sebagian
banyak orang, namun begitu mudahnya menyita seluruh perhatianku untuknya.
Memiliki tinggi yang tidak jauh terpaut daripadaku, rambutnya yang panjang,
agak gemuk, dan yang terpenting yaitu aku selalu suka saat ia tersenyum.
Mungkin,
di mulai sejak saat aku bertemu dengan dirinya di dalam gereja, saat dirinya
sedang menjadi penerima tamu. Ia melemparkan senyum kepada siapa pun yang masuk
ke dalam gereja untuk beribadah dan menyapa mereka sekaligus menyalaminya. Aku
pun mendapatkan senyuman itu, memang benar bahagia itu sederhana. Sesederhana
kita jatuh cinta pada pandangan pertama dan sulit untuk diungkapkan dengan
kata-kata.
Ah,
memang jatuh cinta itu terlihat sangat sederhana tapi mengungkapkannya itu yang
lebih rumit daripada mengerjakan soal-soal matematika atau fisika yang penuh
dengan rumus. Jatuh cinta itu biasa saja, tidak ada yang spesial dalam jatuh
cinta. Namun, ketika jatuh di dalam cinta itu sendiri semuanya terasa begitu
indah. Melihat senyumnya pun sudah cukup membuat hati terbang menembus langit
lapisan ketujuh.
Perempuan
itu, memang aku tidak terlalu mengenal dirinya, dan aku pun hanya dapat
bertemunya sekali dalam seminggu itu pun kalau beruntung, kalau tidak beruntung
aku tidak dapat bertemu dengannya.
Perempuan
itu, ah, terlalu aneh bila aku jelaskan dan deskripsikan tentang dirinya karena
kembali lagi ke awal aku tidak terlalu mengenal dirinya. Mengetahui namanya pun
aku tidak tahu, aku hanya menyebut dirinya perempuan tanpa nama.
Teori-teori
yang diucapkan oleh ahli sosiologi pun tidak dapat menjelaskan bagaimana
tentang cinta itu. cinta itu terlalu abstrak untuk dapat dilukiskan, terlalu
sulit untuk diucapkan melalaui kata-kata. tapi, apakah cinta itu sama seperti
nafsu?
Kembali
pada perempuan tanpa nama itu. berkali-kali aku melihat dirinya sedang mengajar
anak-anak kecil di sekolah minggu yang letaknya berada di sudut ruang gereja.
Ia hanya tersenyum saat anak-anak kecil itu melakukan tingkah-tingkah yang
membuat emosi meningkat. Ia tidak pernah memarahi anak-anak itu, hanya
tersenyum dan menegurnya dengan halus. Mungkin, perempuan seperti dia merupakan
idaman setiap laki-laki.
Dia.
Dia yang mampu membuatku terdiam dan lidahku begitu kelu saat berpapasan
dengannya. Awalnya, aku sudah meniatkan diriku untuk menyapanya atau berkenalan
dengan dirinya bila berpapasan, tapi... keberanianku menghilang, menguap entah
kemana, dan hanya menyisakan segala penyesalan karena melewati waktu yang
seharusnya dapat aku jalani.
Lagi-lagi,
aku menyisipkan frasa mungkin dan mungkin. Aah, mungkin aku tak cukup layak
untuk dapat berkenalan dengan seorang perempuan yang aku kagumi itu, mungkin
saja aku tidak memiliki keberanian yang besar, dan mungkin saja aku hanya
sanggup untuk mengaguminya dari kejauhan saja, atau mungkin saja memang aku
seperti seorang pengecut yang tidak memiliki keberanian untuk maju.
Bahkan,
aku pun lebih menyukai untuk menyalahkan keadaan dan mengatakan bila semesta
tidak merestuiku untuk dapat melangkah lebih dari sekedar mengetahuinya.
Apakah
memang setiap cinta membutuhkan keberanian? Atau cinta memang membutuhkan yang
namanya pengorbanan? Aku, aku telah melakukan kedua hal itu. Aku memberanikan
diriku untuk mengaguminya dari kejauhan, dan untuk soal pengorbanan? Tidak
perlu ditanya lagi, aku telah berkorban perasaanku yang hanya sanggup
mencintainya sebelah tangan. Kurang pengorbanan seperti apa lagi yang aku
lakukan, perasaan ini terkuras habis hanya karena sakit mencintai tanpa dikenal
bahkan aku pun mencintai seseorang yang tidak terlalu aku kenal.
Sebenarnya
aku tidak terlalu setuju dengan ucapan bila cinta itu buta. Karena menurutku
awalnya, bila cinta itu buta berarti kita tidak dapat melihat keindahan cinta
itu bukan? Atau bila cinta itu buta kita akan tersesat dalam gelap, seperti
yang berada dalam lirik lagu Efek Rumah Kaca.
Tapi,
setelah aku menjalaninya membuat aku mengangguk setengah setuju dengan ucapan
itu. iya, cinta itu memang buta dan membutakan. Kita dapat dibutakan oleh
keindahan cinta, sampai-sampai kita sulit untuk meninggalkan cinta yang
menyakiti hati. Dan, aku pun demikian, aku dibutakan oleh pesona senyum
perempuan tanpa nama itu untuk mencintainya dalam gelap dan aku tersesat dalam
kegelapan itu, tanpa aku tahu dimana jalan keluarnya dan bagaimana dapat aku
keluar dalam gelapnya ruangan berliku menuju hatinya.
Terkadang,
aku bertanya pada diriku sendiri tentang mengapa aku bisa jatuh cinta terhadap
perempuan yang namanya pun aku tidak ketahui? Hingga akhirnya aku pasrah
terhadap waktu dan semesta. Biarlah mereka berdua yang membantuku untuk
menjawab satu pertanyaan mendasar yang berada di benak tersebut.
Aku
memilih pasrah, menyerah, dan merelakannya kepada waktu dan semesta. Lebih
terutamanya lagi, aku tidak berani untuk mencari jawabannya selain karena
senyuman perempuan tersebut. Aku takut bila aku menemukan jawabannya nanti yang
ada bukan cinta, karena terkadang cinta memang tidak memerlukan alasan-alasan
yang mendasari mengapa kita dapat jatuh cinta.
Berbagialah
orang yang sedang mencintai dalam kesendiriannya. Haaah, mungkin itu seperti
kalimat yang terlalu basi untuk menghibur diri sendiri, atau juga memang
kalimat itu ditunjukan untuk menghibur orang-orang yang sama seperti aku
rasakan. Karena memang kebahagiaan bukan hanya dimonopoli oleh orang-orang yang
berhasil saling mencintai, tapi kebahagiaan itu juga milik semua orang bukan?
Seharusnya kebahagiaan yang diberikan kepada orang yang mencintai sendiri itu
diberikan lebih, karena mencintai dalam sendiri itu menyedihkan dan perih.
Cinta sendiri itu memakan hati, bahkan ketika kita sudah ke-geer-an dan terbang
begitu tinggi dengan harapan pada cinta itu dapat dijatuhkan dari ketinggian
yang sangat tinggi, lalu yang dihasilkannya hanyalah sakit.
Hanya
senyuman itu yang mampu membuatku untuk dapat bertahan, hanya melewati
foto-fotonya yang terpajang di berbagai media sosialnya, atau hanya melihat
atau mengetahuinya sedang bahagia saja itu sudah cukup untuk melegakan hati.
Meski, kebahagiaan itu diberikan oleh seorang pria lain yang ia cintai bukan
karena aku yang memberikannya kepada dirinya.
Bahkan,
saat dia terluka jatuh karena cintanya, aku tak dapat melakukan apa-apa hanya
mengamatinya dari jauh bahkan sangat jauh di tempat dimana dia tidak mengetahui
keberadaanku yang selalu memperhatikan dirinya. Aku bukanlah siapa-siapa yang
dapat seenaknya masuk menawarkan tanganku dan membuat dia kembali tersenyum
lagi.
Dia
adalah cinta yang tak akan kunjung datang dan cinta yang tak pernah saling
mengenal. Sedangkan aku, aku merupakan seseorang yang terlalu berani
berdiri dan memperhatikan dirinya tanpa
sedikit pun aku membuka diri siapa yang selalu ada dibelakangnya yang
mendoakannya, menyemangatinya, dan mencintainya. Seseorang yang tidak akan
pernah melangkah maju keluar dari dalam bayangannya sendiri untuk meraih cinta
yang ia kagumi.
Semoga,
setiap barisan aksara ini dapat membisiki semesta dan angin untuk
memberitahukan kepada perempuan tanpa nama itu.
No comments:
Post a Comment