Langit
sore itu terlihat berbeda dari biasanya, matahari kembali ke peraduannya lebih
cepat daripada biasanya. Dan, pandanganku terhenti pada satu perempuan yang
baru aku kenal beberapa hari yang lalu, namun aku selalu memperhatikan dirinya
sudah lama dalam kesendirianku.
Enno.
Nama perempuan itu yang memiliki tinggi hampir sama denganku, memiliki rambut
pendek menyentuh bahunya, dari yang aku perhatikan ia sangat menyukai
menggunakan tas perempuan-perempuan lainnya yang selalu berada di tangan
kanannya dan sepatu kets berwarna merah, tapi lebih dari itu aku selalu
menyukainya ketika ia sedang mengunakan kacamata yang belakangan ku ketahui
kacamata itu selalu ia gunakan ketika di dalam kelas untuk membaca.
Dari
mejaku terlihat jelas raut wajah perempuan itu yang ditekuk seakan ada
kesedihan mendalam di dalamnya. Perempuan itu memang sering terlihat sendiri
atau sibuk dalam gadgetnya, namun sore itu terlihat sangat berbeda. Enno duduk
sendiri dan memandangi hujan yang turun dengan tatapan yang sendu.
Aku
memandanginya dan mengangkat cangkir kopiku yang masih panas, lalu pindah duduk
disebelah Enno dan ikut menatap butiran hujan yang jatuh membasahi tanah.
Hampir sepuluh menit aku mengamati hujan dan sesekali melihat wajah perempuan
itu tanpa sedikit pun aku membuka pembicaraan di antara kami berdua.
Hujan
terus turun dan belum memberikan tanda-tanda untuk mereda malah yang aku
perhatikan ialah, semakin deras dan anginnya semakin kencang berhembus.
Lapangan sepakbola yang tidak jauh dari kantin pun sudah terendam dengan air
yang menggenang di atasnya, semakin lama semakin banyak mahasiswa yang meneduh
di kantin atau memang terjebak tak bisa pergi.
***
“Hai,
N!” sapaku memecahkan keheningan di antara kami sekaligus menyadarkan dirinya
dari lamunannya.
“Eh,
L!” ucapnya kaget sambil menyeka matanya memastikan bila tidak ada air mata
yang menetes, “Udah lama?” lanjutnya ragu.
Aku
hanya tersenyum dan menyeruput kopi hitamku yang mulai mendingin.
“Lagi
ada masalah ya, N?” tanyaku pelan menatap wajahnya yang masih belum berubah
sejak tadi, “Kalau gue perhatiin dari tadi sih, jawabannya iya.” Lanjutku sok
tahu yang malah membuat wajah Enno tertunduk dan merah padam.
Aku
dan Enno memiliki perjanjian ketika awal perkenalan kami, ia memanggil aku
dengan ‘L’ dari Lemuel sedangkan aku memanggil dia ‘N’ dari Enno.
Bibir
Enno bergerak-gerak seakan merapal sebuah kata yang tak terucap melalui
bibirnya. Tangannya ia kepal kuat di atas meja. Tiba-tiba, ia menghembuskan
napas panjang dan memaksa diri untuk tersenyum.
“Bener
apa yang lo bilang, cuman gue ragu bisa apa engga cerita dengan lo, N.” Kata
Enno dengan keraguan yang ku dengar. Ia merasa takut, wajar karena aku dengan
dirinya tidak terlalu dekat sebelumnya dan sekarang tiba-tiba aku datang ketika
ia sedang memiliki masalah lalu menawarkan keterbukaan pada dirinya.
“Baiklah,
gue engga maksa kok, tapi kalau lo mau cerita... gue siap dengar dan kasih
solusi sama lo kok, N!” balasku tenang memberikan senyuman kepadanya.
Aku
tahu dia belum dapat sepenuhnya percaya dengan diriku, siapalah aku ini
untuknya? Sahabatnya saja bukan, hanya sebatas kenal dan tidak terlalu akrab
dengan dirinya. Sekarang, semua berjalan sangat cepat dan tak pernah dapat aku
bayangkan sebelumnya.
Enno
melepas kacamatanya, memejamkan matanya, lalu menghela napasnya lebih dalam
lagi.
“Gue
habis berantem sama cowok gue.” suaranya yang pelan membuat samar terdengar
olehku, suaranya dapat dikalahkan oleh suara geluduk yang menyambar-nyambar.
“Dia selingkuh N!” lanjutnya meninggi mulai bercampur dengan emosi di dalamnya.
Aku
terdiam ketika mendengar kata-kata itu, aku mengetahui bagaimana rasanya
diselingkuhin. Sakit! Sangat sakit! Bagaimana bisa seorang pria lain
mengecewakan perempuan yang menurutku begitu luar biasa dan unik seperti Enno?
Mengapa dia begitu bodoh menyia-nyiakannya?
“Lebih
sakit lagi, dia selingkuh dengan sahabat gue sendiri, N!” katanya mulai
meninggi dan air mata mulai jatuh kembali dari kedua bola matanya yang indah
itu, “Gue udah tahu ada yang engga beres antara mereka, tapi mereka selalu
bilang kalau mereka cuman teman dan engga lebih N! Gue sakit dibohongin sama
sahabat gue sendiri!”
Aku
diam. Takut untuk memberikan sebuah pendapat ketika Enno sedang begitu emosi.
Hal
ini merupakan kali kedua aku melihat seorang perempuan menangis tepat di
depanku. Pertama aku melihat perempuan menangis di sampingku ketika aku
melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh pacarnya Enno saat ini, aku
begitu bodoh dan tolol saat itu. Menyiakan kasih dan sayang dari seseorang yang
mencintaiku saat itu dengan kebahagiaan sesaat, sampai saat ini aku pun masih
larut dalam bayang-bayang penyesalan kejadian itu. Dan sekarang, kejadian itu
hampir sama, sama-sama seorang perempuan menangis di sisiku karena
perselingkuhan, tapi bedanya bukan aku yang menjadi pelaku perselingkuhan itu.
“Bangsat!
Harusnya gue bisa ngerti alasan cuman teman itu, semua memang berawal dari
teman sebelum berakhir menjadi pasangan, tapi kenapa kejadian ini harus
melibatkan sahabat yang gue paling gue percaya sih?”
Aku
meneguk ludahku sendiri, emosi Enno benar-benar sudah memuncak hingga beberapa
kali ia mengebrak meja yang menarik perhatian di sekitar kami.
Ku
raih tangannya dan menggenggam erat.
“N,
sabar N! Gue tahu ini begitu berat yang lo rasain, gue ngerti apa yang lo
rasain, N.” Ucapku datar menenangkan dirinya.
“Lo
tahu apa tentang yang gue rasain L? Gue udah sahabatan dari kecil dan gue sama
cowok gue pun hampir dua tahun! Lo engga bakalan tahu L! Karena lo itu cowok
dan engga bakalan bisa ngerti apa yang cewek rasakan L! Engga bakalan bisa!”
bentaknya berapi-api dan di setiap akhir kalimatnya penuh dengan penekanan.
Tanpa
pikir panjang aku langsung menariknya ke dalam dekapanku. Dari banyak buku yang
aku baca, salah satu efektif membuat perempuan tenang ketika emosi ialah dengan
memeluknya dan membiarkan dirinya menangis membasahi pundak kita.
“Tenangin
diri lo dulu! Gue ngerti apa yang lo rasain, karena gue pernah berada di posisi
seperti lo, N!” bisikku lemah sambil terus mengelus rambutnya yang pendek itu,
aroma parfumnya masuk ke dalam hidungku dan dengan sangat terpaksa aku harus
menghirup aroma menyengat dari parfum perempuan yang tidak terlalu aku sukai.
Enno
terus menangis di dalam dekapanku hingga membasahi pundakku. Aku tidak terlalu
memperdulikan apa yang orang pikirkan tentang kami, yang aku pikirkan hanyalah
satu. Membuat seorang yang telah lama aku perhatikan ini dapat kembali tenang
dulu.
Aku
merasa seperti de javu, kejadian ini benar-benar mirip seperti kejadian tiga
tahun yang lalu. Mantan kekasihku dulu menangis hingga sesegukkan di dalam
dekapanku saat kejadian seperti ini, sama bahkan persis dengan kejadian dulu.
Sekarang Enno menangis sesegukkan dalam pelukanku.
“Lo
dulu pernah di selingkuhin juga, N?” suaranya memberat dan terpotong-potong.
Aku menggelengkan kepalaku lemah. Enno menatapku dengan heran dan berusaha
untuk mengerti apa maksudnya. “Lalu?”
“Dulu
gue yang pernah selingkuh dan gue melihat mantan gue dulu nangis seperti lo, N.
Makanya gue bisa mengerti apa yang lo rasain.” Jawabku tenang mendekap Enno
semakin erat dan kuat.
“Lo
pernah selingkuh?” tanya Enno sekali lagi untuk memastikan apa yang ia dengar
itu benar dan lagi-lagi aku hanya dapat tersenyum dan mengangguk.
Ia
diam. Melepaskan tubuhnya dari pelukanku.
“Gue
kira lo beda, L! Ternyata, lo sama dengan cowok lain juga. Sama-sama
brengseknya!”
“Tenang
aja, kali ini gue udah sadar, N! Gue tahu itu salah, dan apakah semuanya akan
lo cap semua cowok brengsek kalau pernah selingkuh?” sanggahku cepat memberikan
sebuah pertanyaan kepada perempuan berambut pendek ini.
Lagi-lagi
Enno diam dan suasana yang terjadi ialah serba canggung saat itu. Serba salah
dan aneh. Ia dan aku hanya diam, kami berdua berada di sebuah kata yang tak
terucapkan dan garis keegoisan kami tentang siapa yang memulai pembicaraan
terlebih dahulu.
***
Aku
menghirup udara dan membuangnya secara perlahan. Hujan yang turun mulai mereda,
berubah menjadi rintikkan. Para mahasiswa yang tertahan di kantin karena hujan,
satu per satu mulai menerobos rintikan hujan dan meninggalkan kantin.
“N,
ternyata hujan saat sore seperti ini tidak selalu membawa tentang keburukkan
saja loh.” Aku memecahkan keheningan di antara kami.
“Maksud
lo?” tanyanya heran dan menyipitkan matanya.
“Iya,
karena hujan seperti ini gue bisa ngobrol panjang sama lo. Bahkan engga kerasa
ini udah cangkir kopi yang kedua.” Jawabku polos dan tenang sambil meniup kopi
yang masih panas, “Sama seperti halnya tentang selingkuh, engga semua membawa
tentang keburukan doang kok. Percaya sama gue.”
Enno
menatapku semakin heran dan tidak mengerti dengan apa yang aku katakan.
“Iya,
karena perselingkuhan itu lo bisa tahu, apakah dia benar-benar tulus mencintai
lo atau engga? Atau, bahkan aja dari kejadian itu hubungan lo bisa semakin kuat
kan?” aku melanjutkan penjelasanku namun sayangnya Enno masih kurang paham
dengan apa yang aku katakan.
“Gue
engga ngerti, tapi kejadian lo dulu, bertahan atau bubar?” Enno berbalik
bertanya kepadaku.
Mendengar
pertanyaan itu, aku hampir tersedak saat sedang menyeruput kopiku.
“Bubar
dan gue sampai nunggu dia sampai setahun untuk bisa balik lagi, tapi tetap
engga bisa.” Jawabku bergetar mencoba
untuk menenangkan degupan jantungku ketika diingatkan tentang masa lalu.
“Saat
itu gue menyesal gila, karena gue menyia-nyiakan orang yang tulus mencintai gue
dan ternyata hati itu sama seperti kaca, kalau udah pecah meski udah
disambung-sambung pun tetap masih ada bekas, bahkan bisa engga bisa nyambung
lagi.”
“Iya,
gue setuju dengan yang lo bilang L! Gue engga tahu deh, bisa maafin mereka atau
engga?”
“Kalau
untuk permasalahan maaf, saran gue untuk lo N. Maafin mereka, apa lagi sama
sahabat lo sendiri, masa persahabatan lo juga putus karena kejadian kaya gini
doang kan?” aku tersenyum memandangi Enno yang mulai dapat tersenyum.
“Benar
juga sih, terima kasih ya, L!” Enno langsung memelukku erat, ada kehangatan
yang terjadi dalam pelukan ini meski udara sore itu dingin setelah hujan.
Aku
mengelus rambut dan punggungnya. Hanya itu yang dapat ku lakukan, terkadang
yang dibutuhkan perempuan itu didengar saat dia bercerita dan dekap dia bila ia
mulai menangis. Kali ini senja berbisik kepadaku tentang sebuah kepedihan, rasa
sakit hati, dan kekecewaan, senja bercerita melalui seorang perempuan yang tak
mungkin dapat ku raih nantinya.
Enno,
terima kasih karena menyadarkan aku tentang rasa sakit hati dari perselingkuhan
itu lagi.
“L,
hujannya udah reda, lo engga cabut?” tanya Enno membuat ku sadar dari
lamunanku.
“Engga,
gue masih ada satu kerjaan yang belum gue kelarin disini,”
“Oh,
yaudah deh. Gue cabut duluan ya, L! Sekali lagi, terima kasih banget untuk
waktunya dan dengerin gue curhat!” ucapnya lalu meninggalkanku begitu saja.
Aku
memperhatikan setiap langkah kaki Enno yang perlahan menjauh dan menghilang.
Harusnya yang berterima
kasih itu gue, bukan lo N! Kita memang dapat memberikan sebuah alasan untuk
bersedih karena dikecewakan sama orang yang paling dekat sama kita sekali pun,
tapi hanya ada satu alasan yang paling penting, kita harus tetap bahagia dalam
menjalani hidup ini meski berat untuk dapat bahagia.
Tetaplah tersenyum dan
bahagia, Enno. Tetaplah seperti senja yang selalu dinantikan meski, kadang
gelaplah yang muncul membawa air hujan yang membasahi bumi.
No comments:
Post a Comment