Sore
ini terasa berbeda, aku terlalu malas untuk ikut nongkrong di selasar kampus
bersama dengan teman-temanku. Kuis-kuis yang aku hadapi seharian membuat
badanku terasa lelah untuk melakukan aktifitas hari ini, namun aku juga malas untuk
langsung meninggalkan kampus di sore hari. Emosi dan energi akan terkuras
sia-sia karena kemacetan.
Aku
memilih untuk meninggalkan kampus pergi ke satu tempat yang tidak jauh dari
gedung kampusku. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu lama untuk aku dapat
sampai sana, ketika aku sampai disana aku langsung memilih tempat di lantai dua
dan di luar ruangan agar aku dapat menikmati suasana sore itu lebih rileks.
Pandanganku
mengarah ke jalan yang mengarah ke kampusku, sekumpulan mahasiswa yang berjalan
entah kemana saling bercanda dan mengobrol di tepian jalan, kemacetan di
pertigaan yang di dominasi oleh motor dan angkot yang menaik turunkan penumpang
secara sembarangan menjadi suatu pandangan yang terlihat biasa terjadi.
Matahari
perlahan mulai turun ke bawah menyembunyikan wajahnya untuk kembali ke
peraduannya. Dan langit, langit sore itu mulai mempercantik dirinya dengan
biasan warna jingga yang halus terpancar.
***
Ah,
aku selalu menyukai saat-saat seperti ini! ada keindahan dan kemanisan di
dalamnya, ada sebuah rasa seni yang hadirkan oleh pencipta setiap sore. Seni
yang diberikan untuk menghibur para penikmatnya yang lelah menjalani harinya.
Secangkir
kopi hitam yang aku pesan masih mengembul memamerkan asapnya bercampur bersama
asap rokok mild yang aku bakar menjadi temanku menikmati sore yang lebih sering
dipanggil dengan senja.
Aku
kembali membaca ulang koran tadi pagi yang baru beberapa lembar aku baca, namun
ketika aku baru di halaman awal.
Aku
terdiam mematung.
Sesuatu
yang lebih indah daripada senja yang sedang
terjadi.
Seorang
perempuan duduk di depanku. Hanya duduk sendirian atau ia sedang menunggu
temannya pun aku tahu. Tapi, yang jelas perempuan itu memancarkan sebuah
keindahan melalui senyumnya. Aku benar-benar dibuat terpukau oleh karena kecantikkannya,
mulutku seakan dibungkam tak dapat berbicara apa-apa, hanya ada pandangan
seperti orang yang sedang terpesona.
Perempuan
yang memiliki rambut pendek yang jatuh dibahunya, dibalut dengan pakaian batik
cokelat dan rok yang selaras warnanya. Ia mengeluarkan satu buku dari tas merah
yang ia tenteng.
Jantungku
berdegup semakin cepat, semakin cepat tiap detiknya.
“Aku
ingin berkenalan dengan perempuan itu!” ucapku dalam hati sekaligus
mengumpulkan keberanianku.
***
Gelak
tawanya memecahkan kekakuan di antar kami berdua. Sebuah lesung pipit yang
berada di pipi kirinya mempercantik dirinya dan aku menyukai dirinya ketika
sedang tersenyum. Indah, benar-benar
indah!
“Kamu
tahu, kenapa kamu diberi nama Senja oleh orangtua kamu?” tanyaku dengan tampang
serius.
Perempuan
itu hanya mengelengkan wajahnya lemah.
“Mungkin,
karena orangtua kamu berharap agar anaknya kelak seindah langit senja, dan
ternyata kamu memang mempunyai senyuman seindah langit senja,” gombalku dengan
wajah innocent yang membuatnya
tertawa untuk menutupi wajahnya yang memerah tersipu malu.
“Hahaha...
kamu bisa saja Ris!” ucapnya menutupi mulutnya dengan tangannya.
Aku
tersenyum dan dia pun membalas senyumanku seakan kami berdua saling mengerti
apa yang berada di pikiran kami masing-masing.
Namun,
setelah itu... tawa itu membias begitu saja digantikan dengan sebuah
keheningan.
“Btw, aku suka heran dengan orang-orang
kenapa mereka menyukai langit senja ya, Ris? Padahalkan senja menandakan akhir
dari satu hari?” aku tersedak ketika mendengar pertanyaan tersebut.
Senja.
Sebuah pertanyaan yang terlontar dari bibirnya memaksaku untuk berpikir tentang
pertanyaan yang terdengar filosofis yang membuatku mati kutu kehabisan jawaban.
Aku
kembali meneguk kopi hitam yang aku beli dari bawah.
“Lalu,
mengapa juga orang-orang menyukai kopi hitam yang pahit?” Senja kembali
mengajukan pertanyaan yang hampir menyerupai pertanyaan sebelumnya.
“Entahlah,
aku pun tidak mengerti,” jawabku mengangkat kedua bahuku, “Namun, yang aku
tahu, langit senja itu manis dan indah. Dan, mengenai kopi hitam yang pahit,
aku pernah mendengar sebuah kalimat dari film, supaya kita mengetahui bahwa di
luar sana tidak selalu manis.” Lanjutku tenang dengan menatap matanya yang agak
sipit itu.
“Aneh.”
Jawabnya singkat lalu kembali diam.
“Bila
aku mengambil kesimpulan dari penjelasanmu, berarti kita memang menyukai
perpisahan yang manis atau indah bukan? Tentang kopi itu, aku setuju dengan
kalimat tersebut! Terkadang rasa pahit itu harus kita endapkan dan tinggalkan
seperti ampas kopi yang tersisa, bukan begitu ,Ris?”
Aku
tersenyum.
“Tapi,
mengapa harus ada perpisahan bila ada pertemuan di awalnya? Bukankah kita semua
berharap tidak akan pernah berpisah?”
Aku
salah menduga tentang Senja, aku pikir dia seperti perempuan lainnya, tapi dia
unik dan berbeda dengan perempuan lain. Pertanyaan yang mengalir dari bibirnya
itu tidak mencerminkan dirinya dari penampilannya yang terkesan lebih
menampilkan penampilannya.
“Mungkin,
agar kita dapat belajar tentang sebuah perpisahan dan kehilangan itu.” aku menjawabnya
dengan hati-hati. “Apakah kamu mau untuk menikmati waktu bersama dengan
matahari terus? Pasti kamu pun ingin melewati hari bersama bulan, nah, makanya
ada sebuah perpisahan antara siang dan malam melalui senja itu.” jelasku lebih
lagi memberikan sebuah penjelasan yang aku pun tidak terlalu mengerti.
Senja
menyenderkan badannya, menghela napasnya secara teratur.
***
Langit
perlahan mulai berubah menjadi gelap. Dari tempatku duduk, aku dapat melihat
kemacetan di pertigaan semakin memperparah. Dari sebuah sisi lainnya aku
melihat sebuah keindahan lain ketika lampu-lampu perlahan mulai menghiasi
jalanan saat itu.
Senja
terus menerus melirik jam tangannya dengan rasa khawatir. Ada sesuatu yang
membebani pikirannya saat itu aku rasa.
“Senja,
kamu kenapa?” tanyaku pelan membuatnya terkesiap.
“Ga-papa,
aku cuma khawatir jam segini cowokku belum datang untuk menjemputku.” Jawab
Senja dengan gugup.
Seketika
hatiku langsung hancur berantakan. Kalimat sederhana itu mampu membuatku
terdiam untuk beberapa saat, meski sesederhana itu pun aku seperti dihantam
oleh benda yang keras tepat di wajahku. Rasanya sakit.
“Kenapa
Ris? Ada yang salah?” Tanya Senja memandangku bingung dan aku begitu canggung
ketika melihat pandangannya.
“Ah,
ga-papa, a-ku...” aku begitu gugup dan salah tingkah ketika menjawab pertanyaan
tersebut, “Sudah, lupakan saja Senja.”
Pandangan
kami kembali bertemu pada satu titik dan pada saat kami berada di titik yang
sama itu, ada perasaan bersalah dan tidak enak menjalar dari dalam hatiku.
Seakan mengatakan bila aku terlalu jauh dan terbuai cukup lama dengan obrolan
bersamanya.
Debaran
jantungku mulai memelan dan normal kembali.
Seorang
pria dengan setelan lengkap dan rapih terlihat begitu tergesa-gesa dan
pandangan matanya menyapu setiap sudut tempat ini. Aku memperhatikan gelagat
pria tersebut dengan rasa penasaran dan debaran jantungku perlahan mulai cepat,
seperti ada yang salah dalam diriku.
Pria
itu memencet-mencet ponselnya, setelah itu bunyi ponsel Senja pun berbunyi.
Pria itu yang berdiri tidak jauh dari tempat kami seperti mendengar suara
ponsel Senja dan ia seperti sedang mencari-cari asal suara tersebut.
Pria
itu memandang ke arahku, berjalan ke arahku dan menatap lekat punggung Senja.
Aku semakin curiga bila pria ini yang sedari tadi di tunggu oleh Senja.
Ternyata,
benar!
“Hai,
sayang! Maaf ya, aku terlambat jemput kamu!” ucap pria tersebut dengan
merangkul pundak Senja lalu mencium pipi Senja di depanku.
Aku
ingin pergi meninggalkan mereka. Aku terlalu benci melihat kemesraan sepasang
kekasih di depanku yang begitu memuakkan untukku.
“Sayang,
kenalin ini Haris! Dia anaknya asyik dan dari tadi dia yang nemenin aku untuk
nunggu kamu!” Senja seakan menyadari keberadaanku disana dan dia langsung
memperkenalkan aku dengan pacarnya.
“Hai
Haris, terima kasih ya, telah menemani Senja!” ucap pria itu dengan bersahabat
dan mengayunkan tangannya ke arahku dan aku menyambut jabat tangan pria itu.
Aku
hanya dapat menjawabnya dengan tersenyum.
“Haris,
aku pulang duluan ya!” ijinnya singkat dengan sebuah senyuman yang begitu
hangat terlukis di wajahnya. Aku hanya mengangguk dan membalas senyuman Senja,
lalu mereka pergi meninggalkan aku yang masih terpaku melihat punggung Senja
yang perlahan menghilang di tutup oleh dinding yang membatasi pandanganku.
Aku
menoleh ke arah jalanan dan lagi-lagi pandanganku tertuju ke arah mereka yang
sedang masuk ke dalam mobil sedan putih.
Menghela
napasku dalam-dalam dan aku berpikir semuanya telah berakhir, hingga akhirnya
seperti biasa aku kembali belum berhasil untuk mendapatkan seseorang yang aku
sukai.
Ketika
aku ingin pergi meninggalkan tempat ini untuk kembali ke kampus, mataku
menemukan sesuatu yang janggal di bawah cangkir kopi Senja. Ia menyembunyikan
sesuatu yang tak sempat ia ucapkan ketika ia pergi tadi.
Secarik
kertas yang bertuliskan,
Terima kasih untuk obrolan sore ini, aku harap kita dapat
bertemu lagi dan berbincang lebih banyak lagi sama seperti obrolan sore ini.
Aku tahu, kamu pasti tertarik kepadaku tetapi maaf Haris, aku sudah mempunyai
pacar dan aku harap kamu tidak kecewa. Tapi tenang, kita masih bisa menjadi
teman. Iya, hanya sekedar menjadi teman dan tidak lebih daripada itu.
Sama seperti ampas kopi yang tadi kita bicarakan, aku pun
sengaja menaruh kertas ini pada cangkir kopiku. Tepat dibawahnya, karena aku
tahu sebuah kepahitan akan perpisahan dan kenyataan yang harus kau terima
setelah ini, Ris.
Terima kasih sekali
lagi.
Senja.
No comments:
Post a Comment