Ini
bukan kisah tentang sepakbola atau kisah cinta yang mendayu-dayu, ini adalah
secarik kisah yang selama sebulan ini aku alami. Entah ini kebetulan atau
seperti apa semesta telah merencanakan sebuah jalan cerita yang aku jalani
seperti saling terkait satu dengan yang lainnya. Pertama diawali oleh sebuah
acara jurusan makrab yang diselenggarakan di Anyer, lalu berlanjut kepada acara
dari fakultasku yaitu Sekolah Parlemen dengan tema keamanan laut Indonesia,
hingga akhirnya baru-baru ini aku ikut dalam sebuah penelitian di Pulau Seribu.
Semua berkisar pada pantai dan laut.
Pengalaman
yang tidak pernah ku rasakan di tempat ku sebelumnya, pengalaman yang lebih
banyak aku pelajari di luar kelas dan tidak terpatok pada buku-buku yang
menjadi panduan dalam perkuliahanku. Pengalaman yang mengajarkanku tentang
kehidupan lainnya di luar sekat kelas, sebuah kehidupan yang memiliki manfaat
tidak kalah dengan kehidupan yang dibatasi oleh sekat-sekat kelas.
***
Sebuah
acara malam keakraban, memang aku sudah terbiasa dengan acara seperti ini sejak
perkuliahanku pertama kalinya, namun acara ini terasa begitu berbeda daripada
sebelumnya karena tempatnya. Iya, tempatnya di pantai, bukan di puncak yang
malah membuatku bosan dengan suasananya, karena setiap tahun bila ada acara
pasti larinya ke puncak lagi, dan puncak lagi.
Pada
acara ini aku merasa seperti de javu, karena tepat setahun yang lalu aku datang
ke pantai mirip dengan kejadian aku datang pada tahun ini, meski dengan orang
yang berbeda dan biaya yang berbeda.
Tahun
lalu, aku datang bersama dengan teman-temanku hanya mengandalkan uang seadanya,
untuk bermalam pun kami lebih menikmati puas suasana pantai semalaman dengan
mengandalkan tikar yang kami sewa dan untuk menaruh tas kami, atau setidaknya
bisa tiduran disana saat lelah bermain di pantai. Makan pun kami hanya beli
pop-mie untuk dua hari satu malam disana. Saat itu kami benar-benar merasakan
terpaan angin malam, melihat bulan dan bintang yang bersinar di atas kepala
kami, berlari di tepian pantai dengan deburan ombak yang menerpa kaki-kaki
kami, bermain dengan ubur-ubur besar yang terdampar di tepi pantai, dan sibuk
menarik tikar kami bila air laut semakin tinggi. Ah, rasanya indah sekali waktu
itu. kesananya pun kami naik bis lalu berpindah-pindah angkot untuk menuju
tempat tujuan.
Tahun
ini, aku datang dengan teman-teman sejurusanku di kampus baruku. Berbeda dari
kedatangkan pertamaku yang sangat sederahana dan mengandalkan uang yang
pas-pasan atau bermain sepuasnya di pantai. Sekarang, kami menginap di satu
penginapan dan makan pun tidak hanya pop mie, melainkan sudah ada menu yang
kami persiapkan sebelumnya. Tidur pun tidak beralaskan dengan tikar dan
beratapkan langit, tetapi dengan kasur ditemani dengan pendingin ruangan.
Berbeda.
Tetapi
aku bersama satu temanku, saat ombak sedang besar menerpa karang-karang kami
malah pergi berlari ke tepi pantai menikmati terpaan ombak yang menghujam tubuh
kami, bukannya takut malah kami tertawa sambil menantikan ombak besar yang sisa-sisanya
dapat melalui karang hingga menerpa tubuh kami yang sama-sama kecil ini.
Bahkan
paginya setelah sarapan, ketika waktu bebas kami kembali bermain di pantai dan
aku bersama dengan para seniorku mencari pantai yang bebas dari karang untuk
menikmati berenang puas tanpa takut terkena karang dan lagi-lagi bermain dengan
ombak-ombak yang menghujam tubuh kami deras.
Persamaan
dari kedatangan ini ialah saat hari pertama, aku datang hampir sama dengan
tahun lalu, keadaan kepala botak, lalu baju, celana, bahkan sepatu pun persis
seperti tahun lalu aku datang ke pantai ini. haaaah. Aneh.
Tapi,
ini adalah perjalanan pertamaku sebelum aku menikmati dua kejadian lagi yang
tidak jauh dari tempat ku berdiri dan sejauh pandangan mataku. Pantai dan laut.
Di pantai anyer ini, aku berharap untuk dapat kembali lagi atau memahami
setidaknya sedikit tentang kelautan di Indonesia, secungkil kecil saja, tidak
perlu terlalu banyak karena kelautan bukanlah bidang yang aku pelajari di
perkuliahan nantinya secara mendalam.
***
Tidak
terlalu jauh waktu yang terbuang setelah acara malam keakraban jurusanku. Kini
aku menikmati sebuah pengalaman baru lagi, pengalaman yang belum pernah ku
rasakan sebelumnya, dan pengalaman yang membuatku dapat menginjakkan kakiku di
rumah yang katanya rumah rakyat itu, lalu aku menyempatkan diri untuk terlelap
sebentar di ruang komisi yang dingin dengan kursi mewah yang bagus.
Sebuah
acara yang bertemakan tentang keamanan
laut Indonesia ini menghantarkan ku kembali pada sebuah ingatan beberapa
tahun yang lalu, saat di sebuah lapangan kampus lama ku sedang menyelenggarakan
sebuah diskusi terbuka dan yang menjadi pembicaranya saat itu adalah
Sudjiwotedjo. Saat itu, dia mengatakan :
“Masa depan Indonesia
berada di laut.” – Sudjiwotedjo
Dan
saat diberikan materi tentang kelautan pun pemateri mengatakan hal yang tidak
terlalu jauh berbeda. Laut, Indonesia merupakan negara kelautan, hampir
sebagian besar wilayahnya merupakan laut, namun terlalu sering negara ini lalai
dalam laut. Entahlah apa yang menyebabkan hal itu, yang pasti laut menjadi
titik lemah negara ini.
Aku
lupa kejadiannya dimana saja, dan saat kejadian kapal tenggelam pun yang datang
menolong kapal itu merupakan kapal asing, padahal kejadiannya berada di wilayah
Indonesia. Apakah kita benar-benar terlalu lemah dalam teknologi? Entah.
Lalu
seberapa kuat pasukan laut kita? Tidak terlalu kuat, memang terlalu sulit untuk
mengamankan wilayah laut kita yang begitu luas ini dengan kekuatan seadanya.
Aku tidak terlalu yakin bila data yang aku dapat tentang jumlah pasukan yang
kira-kira satu prajurit itu mengamankan satu pulau. Entahlah, apakah data yang
pernah aku baca itu benar atau tidak. Meski semboyan angkatan laut kita, jaya di laut, tetapi pada kenyataannya
kita terlalu letoy di laut.
Hari
kedua, dimana aku belajar sesungguhnya dari materi yang aku dapati di hari
sebelumnya. Belajar mengenai tata cara sidang, belajar mengemukakan pendapat
dengan beralaskan sebuah data, dan belajar mengenai bagaimana keriuhan yang
terjadi pada saat sidang. Meski ini di isi oleh para mahasiswa dan dalam
sekolah parlemen, aku pun dapat mengambil kesimpulan bahwa memang berat dalam
sidang-sidang para anggota parlemen yang terhormat, terlalu banyak kepentingan
yang bermain di dalamnya. Yang sering mereka lemparkan ialah kepentingan yang
mengatasnamakan rakyat, padahal entah rakyat yang mana yang mereka perjuangkan.
Rasanya
aku ingin kembali belajar di dalam sekolah parlemen lagi, meski aku tidak
memiliki impian untuk menjadi salah satu orang yang duduk untuk mewakili
suara-suara rakyat di parlemen, tapi rasanya ada sebuah keinginan untuk dapat
belajar lagi disana.
***
Dan
yang pengalaman yang terakhir, ketika aku pergi ke pantai dan bermain bersama
deburan ombak, ketika aku pergi ke rumah rakyat untuk belajar tentang sekolah
parlemen yang memiliki tema tentang keamanan laut, dan ketika itu semesta
membawaku ke dalam sebuah penilitian ke beberapa pulau yang berada di utara
jakarta.
Sepanjang
perjalanan menuju Pulau Pramuka tempat dimana aku dan teman-teman singgah, aku
tergelak melihat laut yang dihiasi oleh sampah-sampah yang bahkan membuat kapal
yang kami naiki sempat terhenti karena sampah yang menyangkut pada mesin.
Di
Pulau Pramuka, pulau ini merupakan pusat administrasi dari kepulauan seribu.
Hari
kedua penelitian, kami pergi ke pulau kelapa dimana di pulau itu berada kantor
kecamatan seribu utara. Ketika acara FGD atau Forum Group Discussion, aku
mendengar pemaparan dari ibu camat dan keluh kesah dari para pemuda yang
berasal dari tiga pulau, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, dan Pulau Panggang.
Lalu
setelah makan siang, aku dan kelompokku pergi ke Pulau Panggang yang tidak jauh
dari Pulau Pramuka. Bila kamu menanyakan bagaimana kondisi Pulau Panggang
kepadaku, aku akan menjawabnya, tidak terlalu jauh berbeda dengan Cipinang. Aku
tidak terlalu memiliki banyak gambaran yang teringat di benakku untuk
mengambarkan kepada kalian, yang jelas saat kapal kami mulai bersandar di
dermaga, bau sampah mulai terasa di hidung kami.
Bahkan
ketika aku sedang menunggu temanku yang ke toilet puskemas setempat, seorang
ibu keluar dari sebuah gang sedang mengendong anaknya dan di tangan satu lagi
membawa satu plastik sampah, lalu yang dilakukan ibu itu melemparkan sampahnya
ke tumpukkan sampah yang berada di tepi laut. Aku bingung untuk mengatakannya
apa karena pulau itu tidak ada pantainya.
Kelompokku
berjalan menyusuri jalan setepak untuk mendapatkan sebuah data penelitian, kami
mendapatkan seorang ibu yang membuat dan berjualan kerupuk ikan, dan ada
seorang ibu yang melewati kami dengan membawa sate ikan tapi tidak sempat kami
bertanya kepada ibu ini karena kami sedang mengobrol-obrol dengan ibu penjual
kerupuk ikan. Lalu setelah itu, tidak jauh dari tempat kami berdiri, kami
bertemu dengan kelompok yang membuat ikan asin. Aku agak aneh ketika melihat
ikannya yang berwarna-warna, pada awalnya kami menyangka bahwa ikan itu terkena
limbah, tapi ketika aku snorkling keesokkan harinya, aku melihat ikan-ikan yang
seperti para nelayan tangkap memang seperti itu.
Pulau
Panggang, terlalu padat dengan rumah-rumah dan sampah yang dibiarkan begitu
saja. Ketika aku bertemu dengan ketua RT setempat pun, ia sempat mengatakan
kepadaku tentang pemberian bantuan yang tidak merata, ia menjelaskan bahwa bila
ada pemberian bantuan dari pemerintah biasanya dikuasai oleh orang-orang itu
saja dan keluarganya, meski dia ketua RT dia pun tidak mendapatkan peran dalam
pendistribusian bantuan.
Pemuda
Pulau Panggang pun kalau ingin bermain sepakbola harus pergi ke Pulau Pramuka
karena di pulau mereka tidak ada lapangan untuk bermain. Sekolah pun harus
menyeberang antar pulau. Ah, mereka berjuang untuk mendapatkan pendidikan,
sedangkan banyak pemuda di Jakarta yang malah menganggap remeh dan
bersunggut-sunggut tentang fasilitas sekolah mereka.
***
Ada
kegetiran dalam hatiku melihat laut dan orang-orang pulau. Kedua hal ini sering
kita kesampingkan, bahkan kita tidak jarang kita menganggap bahwa laut adalah
tempat pembuangan, seperti kata-kata, ‘cewek matre ke laut aja.’ Atau banyak
hal lagi, mungkin ini adalah ceritaku tentang pengalamanku. Apakah kamu memiliki
cerita juga? Bila kamu memilikinya, dapatkah kita berbagi cerita itu?
Aku
rindu untuk dapat menginjakkan kakiku ke pasir-pasir yang disapu oleh buliran
ombak. Aku rindu untuk dapat kembali ke pulau seribu, bahkan aku memiliki
harapan untuk pergi ke pulau lainnya di Indonesia. Bukan hanya untuk berlibur,
tetapi melakukan sesuatu bagi mereka.
Mungkin
dalam tulisan ini tidak terlalu banyak hal yang menyambung dan membuat kamu terkantung karena membaca tulisan yang
panjang ini. tetapi di penutup ini, marilah kita bermain ke pulau dan laut
bukanlah tempat sampah! Laut adalah masa lalu kita dan laut juga masa depan
kita.
No comments:
Post a Comment