Ibu, apa kabarmu?
Apakah kamu masih bersedih di peraduanmu? Apakah air mata yang masih membasahi
kedua pipimu, Ibu? Atau kah, engkau sedang marah kepada anak-anakmu?
Ibu, apakah aku boleh
menyita waktumu sebentar untuk membaca surat dari ku mengenai cerita-cerita
yang aku alami di negeri ini?
Ibu, tahun dua ribu
empat belas sudah berjalan belasan hari. Tapi rasanya, masalah demi masalah
masih saja setia berada di langit Indonesia. Sampai kapan kah ini semua harus
berakhir, Ibu? Dan, apakah kamu tahu, bahwa aku terlalu lelah dengan yang
terjadi di bangsa ini Ibu. Mereka, mereka mulai sibuk memperkenalkan diri
mereka dengan baliho-baliho atau spanduk-spanduk yang begitu menganggu
pemandangan, jangankan menganggu pemandangan, bahkan mereka menaruh di
tempat-tempat seperti pendidikan atau instantsi pemerintahan.
Mereka yang maju
untuk mewakili diri kami. Kembali mengeluarkan bisa-bisa manis yang begitu
memabukkan rakyat-rakyat. Mereka kembali lagi berjanji-janji palsu, mereka
lagi. Dan, Ibu. Rasanya aku ingin menertawai para calon-calon yang ingin
menjadi wakil kami dengan dasar yang tidak memadai, bahkan mereka pun ada yang
tidak tahu harus melakukan apa bila mereka lah yang terpilih untuk mewakili
kami nanti.
Ibu, aku ingin
bertanya sesuatu hal yang mengelitikkan. Apakah kami sebenarnya memiliki
presiden di negeri kami, Bu? Mungkin, kamu akan tertawa bila mendengar
pertanyaan ini dari ku, tetapi aku bertanya serius, Bu! Apakah presiden kami
terlalu sibuk untuk mengurusi albumnya? Atau terlalu sibuk mengurusi partainya
yang hancur berantakan karena kasus korupsi yang menjadi bom waktu bagi
partainya? Atau, ia terlalu sibuk untuk menemani ibu presiden untuk foto-foto?
Ah, Ibu. Aku rindu memiliki pemimpin yang mau bergerak bagi rakyat, yang bukan
hanya mengatakan saya prihatin! Ibu!
Dia yang sebagai pemimpin kami saja sudah berbohong tentang siapa dia, dia
selalu mengaku bila dia adalah prihatin, padahal namanya dia adalah SBY. Sampai
kapan ini akan terjadi Ibu?
Apakah benar bila
politik itu tai kucing, Ibu?
Bahkan aku pun lelah
dalam memperhatikan politik dalam kampusku, Bu. Awalnya aku memang ingin
terlibat di dalamnya, tetapi kemudian aku menyadari bahwa aku memiliki
kehidupan yang lebih penting lagi. Aku memiliki mimpi dan target yang perlu aku
kerjakan, Bu. Bukannya aku takut, tapi aku lelah untuk membagi fokusku kembali,
Bu, dan aku pun lelah untuk terus menunda penyelesaian dari tulisan-tulisanku,
Ibu.
Ibu, apakah politik
itu menghadirkan orang-orang yang kurang piknik dan bahagia? Apakah mereka
hanya ingin merebut kepentingan mereka atau kelompok mereka? Ah, persetan
dengan mereka yang sibuk untuk mengurusi kepentingan kelompok atau diri mereka
sendiri. Bukankah ada yang lebih penting daripada itu? berdiri bersama untuk
almamater, bukan untuk kelompoknya sendiri Bu? Atau apakah aku terlalu naif
memandang ini semua?
Topeng, aku pun
sering memperhatikan mereka yang hidup dalam topeng-topeng yang menutupi
kebobrokan mereka. Mereka tersenyum, mereka tertawa, dan mereka menutupi
tujuan-tujuan mereka yang terselubung.
Dan Ibu, apakah
derita listrik yang sering padam di Medan bukan derita Indonesia? Apakah derita
letusan gunung sinabung bukan derita Indonesia? Apakah banjir di Manado bukan
derita Indonesia? Atau derita-derita yang di alami oleh masyarakat perbatasan
bukan derita Indonesia? Bahkan daerah-daerah kecil bukan derita Indonesia, Ibu?
Apakah memang derita Indonesia itu bila ada bencana di Jakarta?
Ibu, aku rindu
melihat sosok-sosok pahlawan dan pejuang itu kembali. Aku rindu dengan sosok Hatta,
sosok yang begitu mencintai buku dan bahkan sebelum ia mandi atau makan ia
masih sempat untuk membaca buku, jangan-jangan ia pun selalu mendoakan para
penulisnya juga? Rindu ku kepada sosok yang apa adanya, tak jarang ucapannya
yang tanpa basa-basi yang hambar membuat lawannya diam. Ia hanya mengatakan, gitu aja kok, repot! Sosok pluralis yang
memberikan kebebasan berekspresi budaya China. Ah, aku rindu dengan sosok Gus
Dur, Ibu! Aku merindukan sosoknya lahir kembali di negeri ini.
Apakah kamu tahu juga
Ibu, bila aku rindu melihat sosok pemuda yang mau berjuang untuk bangsanya. Aku
pun rindu dengan satu sosok yang sampai sekarang belum diketemukan, ia hilang!
Orang-orang yang dicurigai mengetahui penculikan itu bahkan sedang berusaha
naik untuk menjadi presiden negeri ini? apakah negeri ini akan benar-benar
rusak dengan pemimpim yang mempunyai dosa pelanggaran HAM, Bu?
Sosoknya yang lusuh
dan ceking, berasal dari keluarga yang biasa saja tapi menjadi lawan
pemerintahan. Kata-katanya begitu tajam seperti peluru-peluru yang membuat
penguasa saat itu begitu takut menghadapinya, bahkan ia sampai berpindah-pindah
untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran pemerintah. Bait dalam puisinya begitu
mengenang dan terngiang hingga sekarang yang menjadi kekuatan bagi mereka yang
turun ke jalan untuk melawan pemerintahan yang lalim. Hanya satu kata; LAWAN! Wiji Thukul. Akan kah dia akan kembali lagi
dalam kondisi hidup, Bu? Siapakah pelaku dari dia dan sebelas orang lainnya
yang masih belum kembali hingga sekarang?
Lalu, satu sosok lagi
yang aku rindukan ialah Soe Hok Gie. Sosok yang begitu luar biasa menurutku Bu.
Dia pun melawan politik keberpihakkan. Bahkan dia sempat dimusuhi oleh
teman-temannya karena ia tidak mau bergabung dengan satu organisasi di
kampusnya. Aku tidak terlalu banyak mengenal tentang dirinya, hanya melalui
film dan buku-buku tentang dirinya yang belum selesai aku baca.
Ibu, apakah kamu
sudah lelah membaca curahan hatiku ini? atau, apakah kamu masih menangis sambil
membacanya, Bu? Menangis bukan karena membaca surat dariku, tetapi menangis
karena kamu pun sedang memperhatikan anak-anakmu yang terhampar dari timur ke
barat. Dari Sabang sampai Merauke. Rumah yang seharusnya milik kami, perlahan
mulai bergerak dimiliki oleh asing. Lalu Ibu, apa yang masih kami miliki? Apa
yang akan kami wariskan kepada anak cucu ku nanti?
Atau, kamu selalu
berduka ketika anak-anak terbaikmu harus mendekam di jeruji besi karena
penyakit menular yang begitu mematikan itu, Korupsi!
Ibu, dapatkah aku
memelukmu? Aku ingin mendekapmu kali ini. aku ingin membuatmu bahagia dan kamu
kembali tersenyum lagi, Ibu.
Rasanya aku ingin
membagikan setiap cerita kasih kepada orang banyak. Orang-orang yang mulai lupa
dengan kasih dan bahagia. Orang-orang yang sibuk untuk mengejar materi-materi
yang menunjang status sosial mereka. Orang-orang yang mulai seperti zombie,
hidup tanpa kebahagiaan dan cinta.
Ibu, apakah kamu tahu
tentang buku Tuesday With Morrie? Aku baru saja menyelesaikan membaca buku itu.
buku itu begitu luar biasa dan aku akhirnya mengerti tentang budaya yang
diciptakan membuat kami lupa tentang yang namanya cinta dan kasih. Banyak orang
yang kini terlalu sibuk dengan urusan-urusan mereka, sehingga mereka lupa untuk
membagikan kasih dan cinta mereka.
Hahaha, apakah aku
terlalu panjang bercerita di surat ini, Bu? Mungkin, kamu akan lelah saat
membacanya. Bila kamu lelah, aku akan mengakhiri surat ini Bu, dan aku akan
bercerita lagi melalui surat yang lainnya. Mungkin, aku akan bercerita tentang
sepakbola di negeri ini.
Oh iya Bu, aku
mencintai negeri ini. bagaimana pun buruknya para pemerintah, tetapi aku begitu
mencintai negeri yang begitu luar biasa ini Ibu. Aku mencintai Indonesia. Ibu
Pertiwi, berhentilah kamu menangis dan bersedih. Aku ingin kamu tersenyum dan
kembali bahagia Bu.
No comments:
Post a Comment