Pertemuan
pertama akan menghasilkan penilaian pertama bagi orang lain, bisa itu baik,
bahkan bisa saja penilaian itu buruk. Bahkan dalam penilaian pada pertemuan
pertama pun dapat menipu, namun kita lebih sering atau mudah menilai orang pada
pertemuan pertama sendiri, padahal banyak orang yang mengatakan bila jangan menilai suatu buku melalui cover,
sama seperti menilai seseorang jangan melalui penampilan dan pertemuan pertama.
Aku pun menyadari lebih mudah dan cepat menilai seseorang dari penampilan dan
kesan pertama, meski pada akhirnya terkadang juga penilaian kita salah pada
orang itu.
Dalam
pertemuan pertama pun kita dapat jatuh cinta, jatuh pada suatu perasaan yang
begitu cepat dan tidak jelas. Cinta pun tidak hanya melulu memerlukan alasan
yang tepat untuk menjawab mengapa dapat jatuh cinta?
Sama seperti pertemuan kudulu dengan
seorang perempuan yang tidak pernah lepas dengan kacamatanya itu. Seorang
perempuan yang mampu membuat aku berjanji kepada diriku sendiri untuk dapat
kembali hidup baik dan setidaknya mulai mengurangi kebiasaan burukku pada masa
lalu. Seorang perempuan yang mampu membuatku tersadar bila hidup itu harus
terus maju, apa pun yang terjadi hidup
itu mengarah ke depan bukan ke belakang.
Tatapannya, senyuman yang menghasilkan
lesung pipit, tawa manjanya, ambegkannya, dan saat-saat ia sedang mengikat
rambutnya. Itu semua yang membuat aku rindu pada dirinya. Rindu untuk
mengulangi waktu-waktu bersama dengan dirinya, namun aku pun ragu bila waktu
itu dapat terulang kembali?
Apa
pun yang terjadi, hidup itu mengarah ke depan bukan ke belakang! aku
terlalu hapal dengan kalimat tersebut, kalimat yang selalu ia ucapkan kepadaku
ketika kami masih bersama-sama, kalimat yang ia berikan ketika aku terjatuh
karena beratnya beban yang aku pikul di pundak ini, kalimat yang sederhana tapi
mampu membuatku bangkit berdiri kembali. Kalimat yang memiliki daya magis yang
besar.
Apa pun yang terjadi, hidup itu mengarah ke depan bukan
ke belakang! kalimat inilah yang menjadi penutup dari perjumpaan
kami yang terakhir malam itu, malam yang memberikan kesunyiaan dan kehampaan,
terang bintang dan bulan yang sendu, hati yang patah akan luka karena
penghianatan cinta.
Apa pun yang terjadi,
hidup itu mengarah ke depan bukan ke belakang! hingga
akhirnya aku menyadari betul bahwa kalimat ini memiliki arti agar aku berjalan
terus ke depan dan melupakan kisah cinta kami bersama. Dan jangan berharap bila
kisah itu akan kami rangkai bersama lagi seperti sedia dulu kala.
***
Rangkaian foto yang terpajang di
meja belajarku dan kertas-kertas puisi yang aku buat untuk dirinya hanya
berakhir menjadi tumpukkan sampah yang tidak berarti lagi. Semuanya telah
hilang dan mati. Sama seperti hati ini yang telah mati dan akhirnya membusuk
begitu saja ditinggalkan oleh sebuah penghianatan.
Apakah menjadi seorang pria yang
setia itu hal yang bodoh di dunia ini? Apakah cerita tentang kesetiaan hanya
ada di cerita dalam buku atau film-film roman picisan?
Iya, aku percaya bila suatu luka
yang disembunyikan dan didiamkan tanpa diobati, alih-alih dapat sembuh yang ada
hanya membuat luka itu semakin parah dan membusuk, lalu hati ini semakin rapuh
dengan menolak setiap cinta yang datang. Dan akhirnya sering mengenakan
topeng-topeng untuk menyembunyikan luka-luka tersebut. Iya, hati yang terluka
perlu disembuhkan dan diobati dengan cara membuka diri.
Hingga kini aku begitu sulit untuk
dapat move on, memang terdengar mudah
untuk diucapkan tapi begitu sulit untuk dilakukan. Move on bukannya seperti membalikkan telapak tangan, tapi move on itu adalah pilihan dan kemauan
yang membuat aku memilih untuk bertahan dalam bayang-bayang kelam masa lalu.
Terluka dalam cinta.
***
Suasana
yang begitu ramai dan riuh terjadi ketika ibadah usai. Setiap jemaat ada yang
berusaha untuk keluar dan ada juga yang memaksa untuk masuk agar mendapat
tempat yang mereka inginkan. Ada yang saling memaksa dan tidak mau mengalah,
dan ada juga yang lebih memilih menunggu keriuhan di pintu gereja mulai
menyepi.
Aku menyibukkan diriku dengan ponsel
milikku sambil memperhatikan lorong yang menuju pintu gereja. Tiba-tiba suara
pintu terbuka dari ruangan yang berada di belakangku, seorang perempuan yang
mengenakan pakaian putih hitam berdiri di muka pintu itu sambil tersenyum
memandangi anak-anak kecil yang keluar dari ruangan itu.
Terpesonaku pada pandangan pertama,
seorang perempuan yang aku pandangi mirip dengan seseorang yang berada di masa
laluku yang hingga sekarang aku tidak mengetahui kabarnya dan dimana dirinya
sekarang. Perempuan yang berambut panjang dan kacamata yang berwarna merah
menempel di wajahnya.
“Aku pulang ya, kakak Karen!” ucap
seorang anak kecil yang samar-samar terdengar di telingaku. Perempuan itu hanya
membalasnya dengan senyuman dan mengusap-usap rambut anak kecil itu, lalu anak
kecil itu memandangi sekitarnya dan berlari menuju ke arahku, yang ternyata
keluarganya berada di dekatku, tapi perhatianku tetap berada pada perempuan
yang anak kecil itu panggil Karen.
Karen. Nama yang indah! Sesuai
dengan parasnya yang sama indahnya dengan namanya tersebut. Aku ingin maju
untuk berkenalan dengannya, tapi menurutku ini bukan waktu yang tepat. Selain
masih begitu ramai dengan anak kecil, aku pun tidak berani berkenalan dengan
seorang perempuan di tempat seperti ini. Aku begitu malu dan ciut, hingga
akhirnya aku memilih untuk menunda perkenalan dengan perempuan yang sanggup
menyita seluruh perhatianku tadi.
Aku hanya duduk diam disini
memperhatikan dirinya yang selalu tersenyum kepada setiap anak kecil yang
keluar dari dalam ruangan. Dalam benakku, aku mengambil satu tebakkan bila
perempuan yang dipanggil Karen ialah seorang guru sekolah minggu di gereja ini.
Seorang
guru sekolah minggu. Berambut panjang dengan gelombang di ujungnya. Senyum yang
menghasilkan lesung pipit. Badannya yang menurutku tidak kurus dan tidak juga
gemuk. Tingginya yang sebatas bahuku. Dan tidak lupa dengan kacamata yang
berbingkai merah yang ia kenakan. Ah, selalu ada tempat bagi para perempuan
yang memakai kacamata untuk diriku.
Seketika
itu juga ingatan tentang seseorang yang berada di masa laluku muncul perlahan
di dalam ingatanku. Aku membenci hal yang seperti ini, aku masih kesal dengan
apa yang pernah ia lakukan kepadaku dulu dan sebagian hati ini masih merindukan
dirinya, masih terpatri dalam satu pecahan kisah yang sulit untuk dilupakan
begitu saja. Aku menghela napasku pelan-pelan dan membiarkan diriku agar tenang
ketika bayangan itu kembali lagi dalam ingatan.
***
Langkah kakiku berhenti ketika
mataku melihat seseorang yang aku perhatikan di dalam gereja sekarang berada di
luar, sendirian. Aku pun tetap ragu antara menghampirinya atau melanjutkan
langkahku untuk pulang ke rumah, dan membuang kesempatan yang mungkin saja
sulit untuk terjadi lagi seperti ini ketika perempuan itu sedang sendirian
seperti saat ini.
Dari kejauhan aku memandanginya dan
memperhatikan sekitar terlebih dahulu sebelum aku mengambil keputusan,
menghampiri atau melewatkannya. Langkahku perlahan semakin mendekat kepada
perempuan itu, semakin aku dekat semakin kencang getaran dalam diriku. Entahlah,
semuanya tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata dan aku terlalu terbiasa
tegang bila berkenalan dengan seorang perempuan secara langsung.
Tinggal satu langkah lagi aku dekat
dengan dirinya. Napasku tersengal-sengal, jantungku berdegup kencang, dan tanganku
mulai basah oleh keringat dan dingin. Ada sebuah getaran-getaran aneh yang aku
rasakan ketika langkah terakhir itu aku injak, hingga sekarang aku berdiri
tepat di sampingnya. Berdiri memandangi jalanan yang sepi.
“Hai!” sapaku pelan yang hanya memandangi
dirinya sebentar lalu aku menghela napas dalam-dalam. “Dari tadi gue perhatiin,
lo lagi sedih ya?” lanjutku dengan pertanyaan yang basa-basi dan kaku.
Perempuan itu hanya diam. Tak
merubah posisinya sejak semula dan dari bingkai kacamatanya aku dapat melihat
kekosongan dari tatapannya. Dari balik bingkai kacamata itu masih mengalir
tetesan air mata yang membasahi wajahnya. Dia begitu sedih, aku dapat
merasakannya meski tidak sepenuhnya dapat ku mengerti tentang perasaan
perempuan yang berada di sampingku ini.
Aku pun ikut berdiam diri sambil
menantikan kata yang terucap dari bibir perempuan ini. Sambil menantikan ia
berkata, aku memperhatikan keadaan sekitar yang mulai sepi dari orang-orang
yang berlalu lalang dan ibadah kedua pun sudah dimulai. Lama-lama aku mulai
bosan dengan menantikan perempuan ini berbicara, mungkin dia sedang
mengharapkan waktu untuk sendiri, atau mungkin saja kehadiranku yang tidak ia
kenal juga tidak diharapkan olehnya.
Ketika aku hendak meninggalkannya,
tiba-tiba ia menghela napasnya dalam-dalam dan tersenyum sendiri yang membuat
aku tertahan untuk memperhatikan dirinya lagi. Mataku terus memandanginya dan
pandangan kita bertemu selayaknya adegan romantis yang tersaji pada ftv-ftv,
sama seperti saat adegan-adegan seperti itu pasti ada yang menjadi salah
tingkah karena ketahuan dan saling tatap-tatapan aneh atau serba canggung. Dan
yang menjadi orang yang serba aneh dan canggung itu sekarang adalah aku.
“Sorry, tapi lo siapa ya? soalnya
gue engga kenal sama lo!” ucapnya ketus, sesuatu yang tidak kuharapkan mendapat
balasan seperti ini. Seakan-akan harapan dan keberanian yang aku tanamkan harus
dicabut dengan segera oleh perempuan ini.
“Gue, Ryo! Iya, kalau misalnya
kehadiran gue ganggu lo, gue cuma bisa bilang, maaf. karena gue padahal tadinya
gue cuman mau kenalan sama lo doang. Itu aja sih.” Jelasku perlahan dengan
mengepalkan tanganku untuk memberanikan diri sambil berjalan mundur secara
perlahan.
Lagi-lagi perempuan yang kuketahui
namanya Karen hanya kembali diam seperti sedang memikirkan sesuatu, atau dia
masih menyimpan rasa curiga terhadapku yang seorang asing bagi dirinya mencoba
berkenalan dengannya, atau dia tidak mengharapkan aku yang berada di sampingnya
saat itu.
Langkah mundurku semakin membuatku
jauh darinya yang masih berdiri diam mematung. Namun, ketika aku memutar
balikkan badanku,
“RYO!”
Aku mendengar suara perempuan
memanggil namaku, untuk berjaga-jaga aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling
untuk menyakinkan bila memang aku lah yang dipanggil. Lagi, untuk kedua kalinya
aku mendengar bila namaku yang dipanggil dan ketika itu aku berani memastikan,
bila hanya ada aku yang berada di luar gereja. Dan kalaupun itu benar, aku
dipanggil oleh perempuan itu!
“Ryo! Terima kasih karena daritadi
lo nemenin gue disini!” teriak perempuan itu ketika aku menoleh ke arahnya,
“Sekali lagi, terima kasih ya, Ryo!” dia melambai-lambaikan tangannya sambil
tersenyum kepadaku.
“Sama-sama! Tapi, nama lo siapa?”
“Panggil aja gue, Karen!” jawabnya
singkat lalu kembali masuk ke dalam gereja meninggalkan segala misteri dan
pertanyaan di dalam benakku saat itu.
Aku kembali melangkah ke parkiran
dan duduk di atas jok motorku. Bayangan perempuan itu muncul dalam benakku,
bayangan senyuman saat perpisahan tadi, bayangan saat dia memandangku aneh,
bayangan saat dia berkata dengan ketus. Dan, satu hal yang tidak terlalu aku
mengerti tentang perempuan, mereka bisa dengan cepat berubah dari yang awalnya
dingin bisa tiba-tiba hangat. Entahlah apa alasannya, mungkin hanya perempuan
dan Tuhan yang mengerti akan jawabannya.
Setidaknya kali ini aku dapat
mengalahkan rasa ketakutanku untuk dapat berkenalan dengan seorang perempuan
yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Kali ini, aku melangkah dengan satu
harapan dan satu keinginanku selanjutnya hanyalah dapat dekat dengan seorang
perempuan manis yang bernama Karen.
No comments:
Post a Comment